Sejarah Lanon (perompak) di Kabupaten Karimun (Jurnal)
"Perompakan sudah lama berlangsung di perairan Asia Tenggara. Berita tertua tentang bajak laut Asia tenggara berasa dari catatan Faxian (Fa-Hsien) dalam perjalannanya pulang dari India (413-414 Masehi) mengatakan bahwa "laut (Asia Tenggara) penuh dengan bajak laut". Jiadan (785-805) menyebutkan bahwa pangkalan bajak laut berada di sebelah barat-laut Kerajaan Sriwijaya. Diperkirakan lokasi tersebut berada di sebelah utara Selat Malaka yang merupakan alur masuk ke wilayah Kerajaan Sriwijaya 1"
Kegiatan ini sangat mengganggu bagi aktifitas pelayaran maupun perdagangan tapi ada hal unik dibalik kegiatan mereka yaitu mereka terkadang bisa diajak "kerjasama" untuk mengamankan dan menjadi mata-mata bagi pejabat kerajaan untuk memantau kegiatan dilaut lepas dan terkadang mereka dijadikan "kambing hitam" atas dasar hegemoni kerajaan yang diyakini sebagai alat politik yang kuat bahkan lanun menjadi sangat setia pada seorang raja/pangeran (anggap saja pejabat kerajaan) apabila menguntungkan buat kepentingan mereka, penulis melihat para lanun tersebut dalam pemberian tugas (misi) yang dialamatkan pada mereka mampu memotong jalur logistik dan mengacaukan ekonomi kerajaan lain dan tentunya tugas yang dilakukan oleh para lanon lebih "bersih dan licin" karena mereka melakukan melalui jaringan kawanan mereka yang pada masa itu sangat penting, contoh lain lagi pada buku Thufat An-nafis karangan Raja Ali Haji mengatakan bahwa Raja Kecil (Raja Ibrahim) pada masa mengambil tahta dari Datuk Bendahara di Malaka memakai para Lanoon disekitar kepulauan termasuk juga di Bengkalis dengan tujuan politik dan Raja Kecil Juga memakai suku Bugis dengan tujuan mengamankan perairan jika para pengikut Datuk Bendahara bersama dengan pengikutnya melarikan diri, para lanun mencari daerah strategi untuk mengincar dan melakukan penjarahan terhadap korbannya, penulis meyakini perompak mengalami masa keemasaan pada abad ke XIV-XVIII dan seiring perkembangan waktu dan proses menguatnya keamanan maritim oleh bangsa penjajah (Belanda) dan selalu menjadi "kambing hitam" oleh pihak kerajaan berangsur keadaan para lanun mulai menyusut.
Pulau Karimun merupakan pulau yang sudah terkenal sejak masa Kerajaan Riau-Lingga yang berpusat di Pulau Penyengat bahkan disekitar Kepulauan Karimun merupakan pusat para lanoon itu sendiri. Pulau Karimun dulunya berpusat di Meral, yang saat ini menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Karimun, Bukan seperti saat ini dimana pusat pemerintahan sudah berpindah ke Tanjung Balai Karimun yaitu di Poros(saat ini, red), hal ini dikarenakan adanya peralihan kekuasaan yang terjadi di Kerajaan Riau-Lingga, jatuhnya Kesultanan Malaka tahun 1511 oleh Kerajaan Portugis pada masa Sultan Mansyur Shah memberi titah "melarang keturunannya untuk tinggal di Malaka", hal ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup keturunannya, akhirnya disuruhlah keturunannya mencari daerah baru di sekitar Malaka untuk membangun kerajaan-kerajaan kecil.Setelah itu muncullah kerajaan-kerajaaan kecil seperti :
- Kerajaaan Indrasakti yang berkedudukan di Pulau Penyengat
- Kerajaan Indraloka yang berkedudukan di Tumasek
- Kerajaan Indrapura yang berkedudukan di Siak
- Kerajaan Indragiri yang berkedudukan di Rengat, dan
- Kerajaan Indrapuri yang berkedudukan di Langkat,
Hubungan antara jatuhnya kesultanan Malaka dengan kehidupan para lanun ikut berubah juga, ibarat kesatria yang kehilangan tuannya sehingga para lanun tidak tahu harus mengabdi kepada kesultanan yang mana dan akhirnya mereka merompak para pedagangan (keadaan lanun tidak terkendali dengan adanya peristiwa jatuhnya Kesultanan Malaka yang memegang mereka sebagai alat kepentingan politik) dengan hal ini semua pedagang yang melewati Selat Malaka terutama disekitar wilayah Karimun menjadi tidak aman sehingga menyewa para prajurit dari kerajaannya masing-masing dengan tujuan berdagang hal inilah membuat para pedagang di masing-masing kerajaan merasa rugi karena harus membayar uang keamanan untuk pihak kerajaan, Kapal-kapal yang berlayar melewati Pulau Karimun tidak aman dan terancam bila mereka tidak membawa prajurit masing-masing kerajaan atau para pedagang bersiap mempunyai harta lebih untuk membayar keamanan mereka, karena banyaknya lanon (perompak) yang biasanya menjarah harta dari kapal yang berlayar. Diantara para lanon, ada satu lanon yang sangat terkenal yaitu Pameral. Pameral merupakan kepala perompak yang berada di wilayah Pulau Karimun. Kekacauan yang terjadi di Pulau Karimun juga terdengar oleh Raja Kerajaan Riau-Lingga yang memerintah disana, oleh karena itu diadakanlah perundingan diantara pembesar kerajaan untunk menanggulangi masalah yang terjadi. Setelah dirundingkan, maka diputuskanlah untuk menangkap kepala perompak Pameral, dan akhirnya Pameral pun itangkap dan dimasukkan ke penjara di Pulau Penyengat.
Keadaan setelah Pameral ditangkap tidaklah membaik, bahkan makin banyak penjarah kapal pedagang yang merampok kapal-kapal yang melewati Pulau Karimun. Akhirnya para pembesar kerajaan mengadakan perundingan kembali untuk menghadapi masalah ini disepakatilah satu keputusan untuk menyuruh Pameral mengamankan daerah Karimun dari ancaman para penjarah kapal-kapal pedagang yang lewat atau dia akan dihukum pancong (penggal). Setelah musyawarah tersebut, Pameral pun dipanggil oleh Sultan dan Sultan berkata:” ya Pameral, kalau kau bisa mengamankan perompak-perompak di sekitar Laut Malaka maka dose engkau akan aku ampunkan, dan engkau tidak jadi dihukum pancong”mendapat syarat itu, hati Pameral senang karena dia tidak jadi dihukum pancong, dan Pameral pun mengangkat tangan dan menjunjung dibawah duli berkata“ampon patek tuanku, ampon beribu-ribu ampon, kalau memang itu syaratnye patek siap mengamankan perompak”Setelah mendapat perintah dari Sultan maka Pameral pun kembali ke Pulau Karimun beserta hulu balang kerajaan untuk mengamankan daerah itu dari penjarah, dan tak lama kemudian amanlah wilayah tersebut dari ancaman perampokan atas kapal-kapal pedagang. Atas jasanya tersebut Pameral diangkat menjadi batin pertama di daerah itu, dan Sultan memberikan tanah ke Pameral sehingga berkembang sampai ke anak cucunya.
Penulis melihat bahwa benar adanya para lanun didapat untuk dijadikan kepentingan politik suatu kerajaan dengan tujuan mengamankan jalur logistik, keamanan wilayah hingga paling atas yaitu kepentingan diplomatik antar negara ditambah juga daerah sekitar Selat Malaka memiliki pulau kecil dan tempat yang strategis untuk melakukan kegiatan penjarahan tapi semakin banyaknya kegiatan patroli laut oleh bangsa penjajah pada masa itu yaitu dibawah jajahan Kerajaan Belanda yang melakukan Pelayaran Hongi2 dengan kata lain suatu sistem operasi keamanan VOC yang ber tujuan menjaga, mengawasi, sekaligus mencegah adanya pelanggaran perdagangan dari para pedagang yang mencari rempah-rempah di wilayah nusantara sekaligus mengamankan wilayah perdagangan kekuasaan Hindia-Belanda terkadang para lanun tidak bekerja atas dasar politik suatu kerajaan dan tidak melayani siapapun tentu saja mereka bekerja untuk kepentingan pribadi kecuali dibawah penguasa lanun/perompak itu sendiri, target para lanun biasanya para pedagang atau kapal para kolonial termasuk Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris bahkan China terutama berisi bahan logistik atau bahan berharga seperti keramik, emas, perak, hingga surat kerajaan memasuki awal abad ke XIX kegiatan para penjarah disekitar perairan mulai berkurang kegiatannya karena semakin banyaknya patroli laut yang dilakukan oleh para penjajah Belanda dan mengingat pada awal abad ke XIX semua perjuangan nasional telah berubah termasuk juga haluan politik kerajaan di nusantara sehingga para lanun tidak dipakai lagi sebagai kepentingan politik pada masa itu.
Sumber Referensi:
- (1)Lapian, Adrian B. (2009). Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Komunitas Bambu. ISBN 979-3731-59-1.
- Sindu Galba.2000.Sejarah Karimun
- thufat an-nafis
- https://karimuninfo.wordpress.com/2011/07/02/asal-usul-nama-karimun
- https://id.wikipedia.org/wiki/Perompakan_di_Selat_Malaka
Arti Kata
- Pelayaran Hongi:Ekspedisi Hongi atau Hongitochten adalah suatu bentuk pelayaran yang dilakukan oleh pemerintahan jaman VOC Belanda yang bertujuan menjaga keberlangsungan monopoli rempah-rempah termasuk Hak Ekstirpasi yaitu hak memusnahkan pohon Pala atau Cengkeh, demi mengekalkan monopoli Rempah-Rempah di Kepulauan Maluku dan sekitarnya dan akhirnya merembet ke seluruh nusantara dan dalam prosesnya menjadi patroli keamanan perairan.
Komentar
Posting Komentar