Sejarah Sumur Minyak Minas,Riau
Sejarah
Minyak Minas Riau
. A SEJARAH
PENEMUAN MINYAK MINAS
Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya
pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan
bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, migas) dengan guna memenuhi hajat
hidup orang banyak. Pertambangan kini menjadi kegiatan strategis dan vital bagi
kelangsungan hidup suatu negara, penulis meneliti tentang sejarah pertambangan
yang berada di Minas, Riau yang kaya akan minyak bumi. Minyak bumi termasuk
dalam bahan golongan A yang merupakan barang yang penting bagi pertahanan,
keamanan dan strategis untuk menjamin perekonomian negara dan sebagian besar
hanya diizinkan untuk dimiliki oleh pihak pemerintah karena menyangkut hajat
hidup masyarakat luas. Minyak bumi sekarang ini sebagai sumber energi fosil
yang menggerakkan berbagai bidang terutama industri dan energi.
Indonesia adalah salah satu pusat produksi minyak yang
tertua didunia. Sejauh ini dapat diketahui bahwa pihak pemerintah Hindia
Belanda telah melakukan pengeboran minyak bumi pada tahun 1871, orang-orang
Belanda telah mengebor daerah-daerah rembesan minyak dalam usaha memperoleh
minyak untuk disaring menjadi minyak lampu dan kegiatan industri selain itu
mereka juga mengambil keuntungan dari bisnis minyak bumi. Dalam tahun 1883,
seorang penanam tembakau, Aeilko
Janszoon Zijlker, memperoleh sebuah konsesi mengebor di Sumatera Utara, yang
menghasilkan produksi komersil pada kedalaman 400 kaki. Konsesi produktif pertama
ini sesudah dijualnya kepada kalangan finansil menyebabkan berdirinya "Royal Dutch Company for the Work-ing of
Petroleum Wells in the Netherlands Indies". yang kemudian menjadi Royal Dutch Company. Dibentuk pada tahun
1890, perusahaan ini mengambil alih konsesi A.J Zijlker. Banyak pengusaha-pengusaha
lain membuka "cekungan sedimenter" di Surnatera Selatan, Jawa Timur,
dan Kalimantan Timur dan Timur Laut. Semuanya ada 18 perusahaan yang aktif
dalam masa itu. Akan tetapi karena usaha eksplorasi dan kekuatan finansiil dari
perusahaan-perusahaan ini, Royal Dutch dengan segera dapat mendominasi industri
minyak. Dalam tahun 1907 perusahaan ini bergabung dengan Shell Transport and Trading Company yang beroperasi di Kalimantan
Timur. Demikianlah perusahaan minyak nomor dua paling besar didunia memulai
asal usulnya dikepulauan Indonesia[1].
Penemuan minyak oleh Aeilko Janszoon Zijlker memberi awal
mula kehidupan daerah Minas dan membuat perusahaan yang tambang membuka
pekerjaan di Minas dan membuat daerah itu secara bertahap berkembang tapi Informasi
yang dapat dipercaya tentang awal Sumatera
terutama di Riau sangat samar tentang adanya penemuan bahan tambang terutama minyak
bumi bahkan belum ada yang meneliti hingga ke Minas tentang ada atau tidaknya
bahan tambang tersebut, Para pemukim awal yang diyakini adalah
masyarakat yang masih mengandalkan kehidupannya dengan berburu dan bermigrasi (nomaden) sekitar tahun 600 dan 2.000 SM. Suku Melayu bergerak disekitar 2.000 tahun
yang lalu, bergabung dengan penduduk asli seperti Sakai, Akit dan Talang Mamak dan menyebar di seluruh Riau pada masa penjajahan
Belanda pada tahun 1800-1900-an mereka dipekerjakan dibawah pemerintahan Hindia
Belanda sebagai buruh kasar baik yang bekerja dibidang perkebunan, pertanian
hingga pertambangan.
Asal-usul mengenai
nama “Riau”. Berasal dari
kata Portugis “Rio”, yang berarti sungai sedangkan akar bahasa Riau berasal dari bahasa melayu yaitu “meriau”, yang berarti waktu yang menguntungkan untuk
memancing, dan “riuh” atau “rioh” kata melayu untuk tawar menawar yang
menimbulkan keriuhan atau
kebisingan dipasar-pasar. Hal ini juga mengatakan bahwa salah satu
sultan, awal yang
mendirikan kawasan perdagangan disebut Bandarioh di masyarakat Siak. “Bandar”
berarti pelabuhan dan “rioh” berarti
bising dan sibuk. Dalam kasus apapun, nama Riau dapat ditemukan dipeta yang
berasal dari era kolonial Belanda,
Derivasi melayu tampaknya lebih mungkin karena orang Melayu benar-benar dikenal
sebagai Melayu yang menduduki sebagian besar Sumatera sebelum kedatangan
Portugis. Sedangkan kata
Minas sendiri merupakan asal usul dari pohon minei bahkan masyarakat Minas ada
yang menyebut asal usul berasal dari perkampungan dari suku Talang Mamak, tapi
penulis melihat bahwa daerah Minas, masyarakat yang mulai menetap disana
dimulai sejak zaman pendudukan Jepang karena semasa Jepang masyarakat yang
didatangkan dari luar Sumatera untuk dipekerjakan di ladang minyak tersebut,
hal ini sedikit berbeda pada masa penjajahan pemerintahan Hindia Belanda daerah
Minas masih berbentuk hutan belantara hanya sedikit yang tinggal disana dan
peneliti asing dengan dibantu masyarakat suku pedalaman saja yang meneliti
daerah tersebut untuk mengeksplorasi ada tidaknya pertambangan minyak tersebut,
hal ini semakin ramai pada tahun 1960-an dimana perusahaan Caltex mulai
beroperasi
Penulis melihat bahwa penggunaan minyak telah ada pada
masa lalu tapi penggunaannya berbeda jika dulu sebagai alat perang kini minyak
digunakan sebagai bahan pembangkit energi dan menggerakkan industri, teknologi
pengolahan minyak bumi semakin berkembang dan pengeksplorasian daerah yang
memungkinkan untuk sumber daya semakin luas dari minyak bumi lepas pantai
hingga menuju daratan tak terkecuali untuk Minas, melalui proses yang panjang
dari eksplorasi, penyelidikan data yang akurat, pengeboran hingga menjadi sumber
energi yang dilalui proses panjang dalam sejarah pertambangan di Indonesia
khususnya Riau. Penemuan tersebut juga berefek positif terhadap
penemuan-penemuan Migas di daerah lain di Indonesia, seperti di Jawa Barat,
Sumatera Tengah-Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan khususnya Minas.
Lapangan Minyak
Minas dulunya masih terlindungi oleh hutan belantara dan belum ada yang
mengeksplorasi daerah tersebut sehingga belum ada kegiatan yang efektif pada
masa itu sedangkan di Jawa usaha pertama pengeboran minyak di Indonesia pada
tahun 1871, dilakukan di Cirebon. Karena hasilnya sedikit, kemudian ditutup.
Jadi dapat diihat bahwa daerah Minas pada masa itu belum di eksplorasi dan
masih hutan belantara, 65 tahun setelah dimulainya pertambangan minyak di Jawa
itu maka pada tahun 1936 Konsesi yang bernama “Kontrak 5A” untuk daerah di
Sumatera Tengah diberikan kepada CALTEX. (termasuk lapangan MINAS) tentu saja
melalui persetujuan pemerintah Hindia Belanda, berarti Minas mulai berkembang
sejak 1936 dengan terbukanya daerah tersebut sebagai hasil produksi dan
pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ahli berserta tenaga kerja untuk
mengeksplorasi minyak di Minas dan mulai dihuni masyarakat luas hingga
sekarang. Model pertama kebijakan pertambangan pada masa Hindia Belanda yang
diterapkan pada saat itu yaitu sistem konsesi (concession). Sistem ini
merupakan model kontrak kerjasama tertua di dunia dalam bidang pertambangan.
Amerika Serikat, Australia, Norwegia, Thailand, dan beberapa negara Timur
Tengah juga menganut sistem konsesi. Di Indonesia, sistem ini berlaku bagi
pengusahaan Migas dengan lahirnya peraturan pertambangan Hindia Belanda Indische Minjwet (1899), yang dibuat
atas desakan pihak swasta untuk terlibat di dalam pengusahaan minyak dan gas
bumi di Hindia Belanda. Adapun ketentuan konsesi migas (Kontrak 5A) antara lain
:
·
Kontraktor
bertindak selaku operator sekaligus bertanggung jawab atas manajemen operasi
·
Kepemilikan
minyak dan gas bumi berada di tangan kontraktor
·
Kepemilikan
aset berada di tangan kontraktor dengan batasan tertentu
·
Negara
mendapat pembagian pembayaran royalti dihitung dari tingkat produksi tertentu
·
Pajak
penghasilan dikenakan kepada kontraktor dari keuntungan bersih (pajak
penghasilan dan pajak tanah)
Provinsi
Riau, merupakan salah satu provinsi
yang ada di Indonesia secara garis besar terdiri dari dataran
alluvial (tanah gambut) yang sangat besar ditengah pulau Sumatera, Indonesia. Penulis meneliti tentang sejarah pertambangan terutama
pertambangan minyak khususnya berada di Minas sebagaian besar tanah yang ada di Provinsi Riau kaya akan tambang
terutama minyak bumi. Daerah yang penulis teliti, Minas termasuk kecamatan di
Kabupaten Siak, Riau. Minas merupakan salah satu daerah yang pertumbuhannya
cukup pesat dibandingkan dengan daerah lainnya di Riau. Provinsi Riau yang memiliki hutan lebat
sekaligus biosfer gambut terbesar di Sumatera memiliki simpanan alam yang
sangat diperlukan oleh hajat hidup orang banyak yaitu Minyak Bumi, pertambangan
minyak bumi terletak di Minas. Tentu
saja tantangan mencari minyak akhirnya membawa ahli geologi bahkan tempat yang
paling menakutkan dan dalam waktu yang lama akhirnya mereka datang juga ke
Riau.[2] Ini disebabkan
Minas mempunyai ladang minyak yang kaya, bersama Duri dan Dumai, Prestasi
ladang minyak Minas memberi sumbangan besar dari tahun 1970-1980, rata-rata
dengan produksi dikisaran 200.000 - 400.000 bopd (barrel oil per day) bagi
produksi minyak mentah Indonesia.
Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 Residen Riau dibentuk dan merupakan bagian dari provinsi Sumatera Tengah.
Sumatera Tengah terlalu besar untuk
mengelola sebagai salah satu provinsi, bagaimanapun, dan pada tahun 1958 bagian
itu dipindahkan ke provinsi yang berdekatan dan sisanya diberikan ke provinsi
Riau yang baru, yang memeluk sebagian besar daratan ditambah ribuan pulau
hingga kemuka Singapura sampai ke laut Cina Selatan.
Meskipun
banyak upaya yang dilakukan oleh para Sultan dan penjajahan Belanda, dan
meskipun timbulnya status Provinsi, Riau tetap menganut ke tidak jelasan dalam waktu lama karena adanya permasalahan politik yang
terjadi pada masa pasca kemerdekaan. Untuk waktu yang lama
pada masa itu Riau hanyalah sebuah
desa perdagangan yang bernama Pekanbaru, terletak beberapa puluh kilometer
dihulu sungai Siak. Meskipun awal perdagangan meningkat secara signifikan dan
kepentingan asing mendirikan operasi karet dan penebangan di Riau, dan tidak
ada penyerang yang memilih Riau sebagai target, ketika Jepang melanda Asia
Tenggara selama Perang Dunia II, mereka memukul pertama di Sumatera bagian
selatan.
B. Penemuan Minyak Minas
Minas
adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Siak, Riau. Minas merupakan singkatan dari Minyak
Nasional, demikian celetukan masyarakat Minas ketika mereka ditanya apa itu
Minas. Minas merupakan salah satu daerah yang pertumbuhannya relatif pesat
dibandingkan dengan daerah lainnya di Riau. Ini disebabkan Minas mempunyai
ladang minyak yang kaya.
Dulu Minas merupakan daerah hutan belantara yang belum disentuh untuk melakukan
kegiatan seperti pertambangan.
Dibandingkan
dengan Duri, kota minyak lainnya yang juga tetangga Minas yang berjarak 2 jam
perjalanan, pertumbuhan Minas masih jauh ketinggalan dari segi fisik,
infrastruktur, akses pelayanan publik dan pusat perbelanjaan serta hal lainnya.
Mungkin ini juga desebabkan karena posisi Minas berada dekat dengan Pekanbaru,
ibu kota provinsi Riau yang berjarak 30-45 menit perjalanan dengan bus.
Kecamatan
Minas saat ini dibagi menjadi satu kelurahan dan empat desa. yaitu kelurahan
Minas Jaya, desa Minas Timur, Minas Barat, Mandi Angin dan Rantau Bertuah.
Minas dihuni oleh masyarakat yang sangat heterogen. suku Sakai melayu merupakan
penduduk asli negeri ini. Seiring dengan berkembangnya proyek dan explorasi
minyak nasional, banyak penduduk berdatangan ke Minas mencari penghidupan.
Mereka berasal dari tanah Minang, Batak, Jawa, Kalimantan bahkan Indonesia bagian timur. Di Minas
inilah terdapat situs pengeboran pertama kali dan cikal bakal menjadinya
perusahaan besar yang ada di Riau yang bernama PT. Chevron Pacific Indonesia.
Tetapi perusahaan ini tidak terbentuk begitu saja, ada banyak cerita dan proses
yang sangat lama.
Sejarah
mencatat, ladang minyak di Minas menjadi catatan penting sebagai penghasil
devisa negara yang pernah ditemukan tempo dulu. Manager Corporate
Comunicatiaons Sumatera PT Chevron, Tiva menuturkan, menurut catatan sejarah
penemuan minyak Minas mengandung arti penting dalam sejarah perminyakan
Indonesia, dicapai berkat usaha eksplorasi Caltex (sekarang bernama PT Chevron
Pacific Indonesia) sesaat menjelang perang Dunia II, yang dilanjutkan oleh
tentara pendudukan Jepang.[3]
Pada
tahun 1924, Standard
Oil Companny of California (SOCAL) melakukan penelitian di Sumatera Tenga
dengan mengirimkan ahli geologinya yaitu Richard B Nelson, 14 tahun berselang
yaitu tahun 1938,
seorang ahli geologi Amerika bernama Walter E. Nyangren ditugaskan mempelajari daerah
di sekitar Minas. Ia melakukan penelitian dengan menggunakan gurdi yang diputar
dengan tangan. Enam buah jalan rintis yang sejajar, masing-masing terpisah enam
kilometer, ditebas menembus hutan belantara Riau, jalan eksplorasi ini
memanjang dari timur laut ke barat daya, dan sepanjang jalan-jalan rintis itu
selang 200 meter digali lubang sedalam 20 kaki untuk mendapatkan contoh-contoh
dari dasarnya. Tiga ribu buah lubang semacam itu dibuat oleh Nyangren. Daerah
ini dinamakannya Minas, mengambil nama sebuah perkampungan Sakai yang
berdekatan dengan daerah itu. Konon nama itu berasal dari nama pohon Minei,
yang buahnya digunakan sebagai bahan minyak goreng.
Pada
1939, ahli geologi lainnya yang bernama Richard H. Hopper, dikirim ke Minas
untuk mengebor dengan bor tangan counterflash
yang mampu menembus kedalaman 1.500 kaki. Upaya ini dilakukan untuk menguji
hasil perkiraan rombongan sebelumnya yang dipimpin Nyangren. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sejarah pertambangan dilakukan
oleh peneliti asing dengan tujuan bahan baku untuk industri awal mula dari masa
Hindia Belanda yang bekerja sama dengan pihak asing terutama industri dari
Inggris dan Amerika yang berminat terhadap pertambangan di Riau khususnya di
Minas. Mereka melakukan eksplorasi geologi pada masa itu dapat diketahui mereka
meminjam pekerja-pekerja pribumi untuk melakukan kegiatan tersebut.
Pemetaan
seismik di Minas pada 1940 menunjukkan adanya suatu anticline atau cembung yang
besar dan berlipat-lipat yang sangat ideal bagi akumulasi minyak. James P. Fox,
ahli geologi utama pada kantor Caltex di Medan, memilih suatu lokasi pada titik
tertinggi pada peta cembung sebagai tempat untuk mengebor sumur percobaan No 1.
Jika titik ini berhasil dibor, diperkirakan produksi minyak per hari adalah 2000 barrel minyak. Sebelum terjadinya Perang Dunia II, di Minas dilakukan
uji pemetaan daerah tapi belum sempat dilakukan pengeboran hal ini tentu adanya
kendala yaitu kurangnya teknologi dan akses pada masa itu.
Tanggal 7 Desember 1941 Perang Dunia II terjadi
pengeboran dihentikan dapat dilihat bahwa semua aktifitas dan kegiatan ekonomi
terhenti dan untuk melakukan produksi dihentikan karena semua aktifitas
pemerintahan Hindia Beanda di kerahkan untuk menghadapi perang, semua pertambangan
minyak ditinggalkan tentunya pihak-pihak perusahaan pertambangan yang bekerja
di Hindia Belanda melakukan perusakan terhadap peralatan mereka dengan tujuan
tidak dapat digunakan oleh pihak musuh terutama Jepang.
Jepang tanggal 10 Januari 1942 melakukan pendaratan
pertama di Indonesia terutama Tarakan dan Manado disusul pendaratan tentara
Jepang di Sulawesi, Jawa dan Sumatera hal ini membuat tindakan Jepang dengan
cepat merebut industri startegis terutama minyak bumi dan karet selain itu
tentara jepang melakukan tanaman jarak terutama dalam Pemanfaatan minyak jarak
dan turunannya (derivat) sangat luas dalam berbagai industri: sabun, pelumas,
minyak rem dan hidraulik, cat, pewarna, plastik tahan dingin, pelindung (coating), tinta, malam dan semir, nilon,
farmasi (1% dari total produk dunia), dan parfum. Hal inilah membuat Jepang
menggunakan bahan tersebut sebagai bahan baku industri, setelah pendaratan
tentara Jepang, seluruh karyawan-karyawan Caltex segera meninggalkan Minas
berserta lapangan-lapangan minyak Duri dan Sebanga yang belum produksi.
Karyawan-karyawan Caletx yang meninggalkan daerah Minas
diperintahkan untuk menghancurkan alat-alat tambang dengan tujuan supaya
tentara-tentara Jepang tidak dapat menggunakannya, tapi Jepang memiliki ahli
geologi dan dengan cepat melakukan pengeboran minyak sebagai contoh hasil
produksi mereka, menjelang akhir tahun 1945 Richard H Hooper meminta bantuan
Jepang untuk mengambilkan inti dan contoh minyak bumi dari Sumur Minas No 1
berserta catatan mengenai sumur serta hasil percobaannya untuk di teliti di
laboratorium.
Hanya satu lapangan, Minas di Sumatera Tengah yang
diusahakan Caltex, berada dalam kategori lebih dari 10.000.000 ton per tahun
(sedangkan Iran, Irak, Kuwait dan Saudi Arabia masing-masing mempunyai dua
lapangan atau lebih dengan produksi dua atau tiga kali jumlah ini). Suatu
indikator lain ialah jumlah sumur dan perbandingannya yang mempergunakan
angkatan buatan, Lapangan Minas sekalipun memerlukan 145 sumur untuk mengangkat
minyaknya (dibandingkan dengan 60 sumur di lapangan Arabia yang lebih besar)
dan dari ini 130 dengan memompa. Hasil produksi Shell berasal dari 18 lapangan,
kebanyakan kecil-kecil, dengan mempergunakan 1000 sumur dan Stanvac memperoleh
minyak mentahnya dari 500 sumur di Sumatera Selatan dan Tengah, dua pertiga
diantaranya dengan angkatan buatan (Lihat Tabel 1). Jadi tanpa eksplorasi yang
kontinu untuk memperbesar daerah eksploitasi, hasil¬hasil daerah minyak seperti
Indonesia mau tak mau akan mandeg, dan lambat laun berkurang[4].
Stanvac, terutama sangat dipengaruhi oleh larangan
eksplorasi baru. Mereka mempunyai 1,8 juta acre konsesi jangka panjang yang
berasal dari zaman sebelum perang untuk dikembangkan kira-kira 10% dari semua
daerah konsesi minyak jangka panjang di Indonesia. Adanya larangan eksplorasi
baru dengan tujuan untuk keseimbangan keanekaragaman hayati selain itu berguna
sebagai cadangan minyak untuk masa yang akan datang.
Tabel 1
Produksi Minyak Mentah Indonesia Menurut Daerah
Daerah
|
Tahun Penemuan
|
Jumlah Sumur
|
Produksi
|
Produktifitas Rata-Rata Persumur
(‘000 Metric Ton Pertahun)
|
||
Menyembur
|
Dipompa
|
Produksi 1964 (‘000 Metric Ton)
|
Produktif Kumulatif (Juta Metric
Ton)
|
|||
Sumatera
|
|
|
|
|
|
|
Cekungan utara
|
1893-1937
|
99
|
7
|
1.613
|
9.025.7
|
15.2
|
Cekungan
|
1901-1962
|
260
|
707
|
4.433
|
54.740.8
|
4.5
|
Selatan
|
|
|
|
|
|
|
Cekungan tengah
|
1939-1958
|
45
|
478
|
14.537
|
35.211.5
|
25.9
|
Total sumatera
|
|
404
|
1.192
|
20.583
|
98.978.0
|
12.9
|
Kalimantan
|
|
|
|
|
|
|
Cekungan timur
|
1897
|
0
|
157
|
0.145
|
14.566.7
|
0.9
|
Tarakan
|
1906
|
1
|
308
|
0.103
|
9.261.2
|
0.3
|
Bunyu
|
1930
|
0
|
50
|
0.325
|
1.580.5
|
6.5
|
Tanjung
|
1938
|
80
|
4
|
1.806
|
1.860.7
|
21.5
|
Total Kalimantan
|
|
81
|
519
|
2.379
|
27.269.1
|
3.9
|
Jawa
|
1896-1929
|
0
|
114
|
.175
|
6.432.2
|
1.5
|
Seram
|
1897
|
0
|
0
|
0
|
410.1
|
0.0
|
Irian jaya
|
1936
|
0
|
28
|
.113
|
1.483.3
|
4.0
|
Total Indonesia
|
|
485
|
1.853
|
23.250
|
134.572.7
|
10.0
|
Sumber : “Industri Perminyakan di Indonesia P.T. Badan
Penerbit Indonesia Raya Jakarta 1974” hal 17
C. Sejarah Eksploitasi Minyak Minas dari Tahun 1938 -
1963
1.
Minyak
Minas dibawah Maskapai Pertambangan Belanda
Menjelang
akhir abad ke 19 terdapat 18 prusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Pada
tahun 1902 didirikan perusahaan yang bernama Koninklijke Petroleum
Maatschappij yang kemudian dengan Shell Transport Trading Company
melebur menjadi satu bernama The Asiatic Petroleum Company atau Shell
Petroleum Company. Pada tahun 1907 berdirilah Shell Group yang
terdiri atas B.P.M., yaitu Bataafsche Petroleum Maatschappij dan Anglo
Saxon. Pada waktu itu di Jawa timur juga terdapat suatu perusahaan yaitu Dordtsche
Petroleum Maatschappij namun kemudian diambil alih oleh B.P.M (De
Bataafsche Petroleum Maatschappij).
Jauh sebelum hari
kemerdekaan itu Minas hanyalah berupa hutan belantara yang belum digunakan
secara maksimal untuk pertambangan dan tentu saja daerah itu belum di
eksplorasi secara mendalam, hal ini tentu saja berbeda di tahun 1871, industri
perminyakan di sektor hulu telah dimulai dengan adanya pemboran sumur minyak
pertama di Indonesia, yakni pemboran sumur di desa Maja, Majalengka, Jawa Barat
di lereng Gunung Ciremai, oleh pengusaha Belanda bernama Jan Reerink karena
adanya rembesan dari lapisan tersier. Kemudian di tahun 1883, seorang Belanda
bernama A.G Zeijlker mencoba membor sumur di tengah perkebunan karet dan
menemukan sumber minyak yang pertama di Indonesia yang relatif besar saat itu,
yaitu lapangan minyak Telaga Tiga dan Telaga Said di dekat Pangkalan Brandan.
Penemuan ini kemudian menjadi modal pertama suatu perusahaan minyak yang kini
dikenal sebagai Shell. Pada waktu yang bersamaan, juga ditemukan lapangan
minyak Ledok di Cepu (Jawa Tengah), Air Hitam di dekat Muara Enim (Sumatera
Selatan), dan Riam Kiwa di daerah Sanga-Sanga (Kalimantan).
Tahun 1930-an di
Minas baru diadakan eksplorasi untuk pertambangan minyak hal ini
mengindikasikan bahwa daerah Minas layak untuk dijadikan daera pertambangan
terutama minyak dengan tujuan untuk kebutuhan industri dan penggunaan bahan
baku energi. Tahun 1936 Konsesi yang bernama “Kontrak 5A” untuk daerah di Sumatera
Tengah diberikan kepada CALTEX. (termasuk lapangan MINAS) yang terjadi selama
masa Hindia Belanda dapat dikatakan Minas di eksplorasi sekitar 1930-an dan
masih berupa lapangan minyak belum sampai mengebor. Dalam Indische Mnijwet (1899) yang telah penulis katakan sebagai model
pertama pada masa Hindia Belanda, berarti royalti kepada Pemerintah ditetapkan
sebesar 4 persen dari produksi kotor dan kontraktor diwajibkan membayar pajak
tanah untuk setiap hektar lahan konsesi. Kontrak 5A disebut juga sebagai
konsesi yang mengacu pada Indische
Mijnwet (Undang-undang pertambangan Hindia Belanda) tahun 1899 yang mengatur tentang pengusahaan pertambangan
Indonesia, konsesi merupakan perjanjian yang dibuat oleh negara pemilik atau
pemegang kuasa pertambangan dengan kontraktor untuk melakukan eksplorasi dan jika
berhasil produksi serta memasarkan hasilnya tanpa melibatkan negara pemberi
konsesi dalam manajemen operasi.
Sedangkan Model
kedua adalah sistem kontrak karya (contract
of work). Model ini diterapkan dengan terbitnya UU Nomor 37 Prp Tahun 1960
tentang Pertambangan, sekaligus mengakhiri berlakunya Indische Minjwet (1899). Tidak seperti model konsesi, model kontrak
karya ini hanya berlaku dalam periode yang relatif singkat, antara tahun 1960 –
1963. Dalam kontrak karya, kontraktor diberi kuasa pertambangan, tetapi tidak
memiliki hak atas tanah permukaan. Prinsip kerjasamanya adalah profit sharing,
atau pembagian keuntungan antara Pemerintah dan kontraktor, model ini berlaku
sejak Indonesia merdeka.
Cadangan minyak
yang pertama kali ditemukan Caltex terdapat dilapangan Sebanga pada bulan
Agustus 1940. Kemudian berturut-turut pada bulan berukutnya ditemukan kembali
cadangan-cadangan minyak yang baru antara lain lapangan Rantau Bais dan
lapangan Duri yang masing-masing pada bulan November 1941. Pengeboran minyak di
kawasan Riau dimulai pada tahun 1934. Pada tahun 1940 untuk pertama kalinya
minyak mulai ditemukan dari lokasi sumur di Sebanga, dan pada tahun 1941
PT.Chevron Pacifik Indonesia (PT. CPI) menemukan ladang minyak di Duri. Pada
tahu yang sama pada saat itu, 1941 Pecah perang di Asia Tenggara, penghancuran
dan penutupan sumur minyak bumi. 3 tahun berselang yaitu tahun 1944 Tentara
pendudukan Jepang yang berusaha membangun kembali instalasi minyak menemukan
MINAS, hal ini dapat diihat bahwa sebelum karyawan Hindia-Belanda meninggalkan
lapangan minyak Minas, mereka telah menghancurkannya dengan tujuan Jepang tidak
bisa menggunakan Lapangan minyak tersebut.
Pertambangan minyak di Indonesia pada masa
penjajahan Belanda dibawah maskapai Belanda N.V
Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij (NPPM) yang mengolah
pertambangan minyak bumi di wilayah Riau pada bulan Maret 1930, selama abad 20
pertambangan minyak di Indonesia masih dalam tahap eksplorasi dan masih uji
coba dan hal itu tidak berlangsung lama, tahun 1942 mercu bor siap dipasang di
Minas-1 tapi terhenti oleh adanya perang dunia II dengan penyerangan Jepang ke
Indonesia terutama di Tarakan, Kalimantan Barat disini penulis melihat Jepang
selama perang dunia II mengincar Sumber daya alam terutama minyak bumi dan
karet sebagai bahan baku produksi untuk perang Asia Timur Raya sehingga
kegiatan pertambangan Belanda terhenti secara otomatis pertambangan Belanda
beralih dibawah naungan Jepang.
Jepang melakukan pengeboran di bawah
pimpinan ahli geologi bernama Toru Oki dari Japan
Petroleum Exploration Company (JAPEX). Gedok dan Saadi mengunjungi GN de
Laive di dalam camp tawanan perang di sekitaran Pekanbaru. Pada akhir 1945,
Richard H Hopper meminta bantuan orang Jepang untuk mengambilkan contoh inti
dan contoh minyak dari sumur Minas No 1 beserta catatan mengenai sumur serta
hasil percobaan produksinya. Contoh inti dan minyak yang dikirim dipelajari di
laboratorium.
2.
Pertambangan
Minyak Minas pada Pendudukan Jepang
Sayangnya,
sebelum sempat mengebor. Perang Dunia II
pecah dengan diserangnya Pearl Harbour oleh Jepang pada tanggal 7 Desember
1941. Disusul dengan pendaratan tentara Jepang di Malaya, Filipina dan
Indonesia. Tentara Jepang dengan cepat bergerak ke kawasan Asia Tenggara, pada saat Perang Dunia II semua kegiatan pengeboran
minyak terhenti. Karyawan-karyawan Caltex diperintahkan
meninggalkan Minas, serta
lapangan-Iapangan minyak Duri dan Sebanga yang belum mulai berproduksi itu.
Program pengeboran minyak diteruskan oleh tentara Jepang pada bulan Desember 1944 dan membangun membangun kembali instalasi minyak
menemukan MINAS.
Tapi Minas
seama masa pendudukan Jepang tidak banyak catatan tentang pengeboran minyak
tersebut mengingat hanya dalam waktu singkat yaitu tiga setenga tahun.
GN
de Laive, seorang sarjana Teknik Perminyakan yang ikut ditangkap oleh Jepang,
menceritakan kepada dua karyawan pengeboran bangsa Indonesia, Gedok dan Saadi,
bahwa tentara Jepang telah mengebor sumur Minas No 1 di tempat yang dipilih
Caltex dengan menggunakan peralatan dan beberapa orang bekas karyawan Caltex,
dan berhasil. Jepang melakukan
pengeboran di bawah pimpinan ahli geologi bernama Toru Oki[5]
dari Japan Petroleum Exploration Company
(JAPEX) yang mempelajari
data tentang sumur minyak yang berada di Minas pada bulan september tahun 1944
yang telah ditinggalkan oleh maskapai pertambangan minyak Hindia Belanda akibat
Perang Dunia II mengenai pengeboran minyak selama penjajahan Jepang tidak
terlalu banyak dicatat mengingat waktu penjajahan yang singkat penjajah Jepang
hanya melanjutkan pengeboran pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tapi Jepang
dapat data mengenai Minas yang memiliki sumber minyak yang melimpah.
Gedok dan Saadi mengunjungi GN de Laive di
dalam camp tawanan perang di sekitaran Pekanbaru. Pada akhir 1945, Richard H
Hopper meminta bantuan orang Jepang untuk mengambilkan contoh inti dan contoh
minyak dari sumur Minas No 1 beserta catatan mengenai sumur serta hasil
percobaan produksinya. Contoh inti dan minyak yang dikirim dan dipelajari di laboratorium. September tahun 1944, disebuah kamp
terpencil di bagin Sumatera
bagian tengah Toru Oki sedang membandingkan log untuk diuji di laboratorium sebagai studi eksplorasi
minyak supaya dapat dipergunakan Jepang dalam pertempuran untuk meredam perlawanan
pejuang-pejuang Indonesia. Pengeboran pada masa penjajahan Jepang saat itu
hanya melanjutkan pengeboran minyak pada masa penjajahan Belanda dan juga
penanaman tanaman jarak dengan tujuan untuk kepentingan akan kebutuhan energi
bagi kepentingan perang Asia Timur Raya. Selain itu ditemukan ladang minyak di
Minas pada tahun 1944 oleh Jepang karena wilayah tersebut sudah di rebut dan
Jepang mempelajari data-data yang ditinggalkan oleh karywan-karyawan Caltex
yang ditangkap dan terbukti memiliki potensi sebagai penghasil minyak terbesar
di dunia setelah kemerdekaan Indonesia, seluruh pertambangan minyak yang ada di
Indonesia menjadi milik pemerintah Indonesia tapi Agresi Militer Belanda.
Perang Dunia Kedua membawa bencana
kepada industri perminyakan Indonesia, sesudah invasi Jepang ditahun 1942.
Politik “bumi hangus" dari pemerintah kolonial Belanda, dilaksanakan
dengan cermat oleh kaum militer. Ini menyebabkan rusaknya lapangan-lapangan,
pipa-pipa, alat-alat pompa dan kilang-kilang minyak dan berhasil membatasi
produksi untuk Jepang. Diperkirakan Jepang mengeruk 3.250.000 metric ton
ditahun 1942, 6.500.000 ditahun 1943. 3 750.000 ton ditahun 1944, tetapi hanva
850.000 ton ditahun 1945 ketika kilang-kilang Sumatera Selatan, terutama, dibom
oleh Sekutu.
Jumlah-jumlah ini pun sudah termasuk produksi dari sumur-sumur Inggris di
Kalimantan Utara. Selama
penjajahan Jepang, penggunaan tanaman jarak (Ricinus communis)[6],
sangat diperlukan karena adanya kandungan minyak jarak pada biji jarak untuk
keperluan industri Pemanfaatan minyak jarak dan hasil dari minyak tersebut
sangat luas dalam berbagai industri seperti sabun, pelumas, minyak rem dan
hidraulik, cat, pewarna, plastik tahan dingin, pelindung (coating), tinta,
malam dan semir, nilon, farmasi (1% dari total produk dunia), dan parfum. Tapi
yang terutama dalam penggunaan minyak rem untuk peralatan perang mereka dan
tentunya racun dari tanaman jarak digunakan untuk menyiksa lawan-lawan politik
pada masa penjajahan Jepang.
Keserakahan Jepang selama masa perang
dalam pemeliharaan lapangan minyak dan alat-alat penyulingan yang layak ataupun
dalam praktek-prakrek teknik sehat sewaktu memompa minyak memperbesar kerusakan
yang disebabkan politik “peniadaan" dari operasi-operasi militer. Selama penjajahan Jepang belum ada perdagangan yang luas
(ekspor-import) mengenai produk yang dihasilkan, selain untuk kebutuhan
pembuatan jalan (aspal), bahan bakartransportasi, dan mesiu untuk berperang hal ini disebabkan Jepang memaksa seluruh sumber daya yang ada untuk
kepentingan perang Asia Timur Raya sehingga adanya penanaman pohon jarak untuk
kemudahan bahan bakar selain itu kebutuhan akan minyak bumi sebagai bahan bakar
alat perang serta kebutuhan akan karet untuk keperluan militer sangat berguna
sehingga membuat harga pertambangan jadi jatuh.
Perang dunia
II kegiatan eksplorasi dan pengeboran minyak oleh Caltex di Riau dihentikan.
Semua ladang minyak Caltex di daerah itu diduduki dan dikuasai oleh tentara
Jepang. Selama pendudukan Jepang, lading minyak Caltex tetap diusahakan oleh tentara
Jepang untuk memenuhi kebutuhan minyak Jepang. Demikian pula selama perang
kemerdekaan, Caltex menghentikan seluruh kegiatannya di Indonesia. Caltex mulai
aktif lagi berproduksi setelah perang kemerdekaan usai
Periode
1945-1950
juga penuh dengan frustasi. Orang-orang Jepang biasanya menyerahkan
instalasi-instalasi kepada wakil-wakil Indonesia dan seringkali
organisasi-organisasi pimpinan de facto yang timbul dari tindakan ini harus
dibujuk untuk mengembalikan peralatan-peralatan yang
umumnya mereka pergunakan secara tidak kompeten, atau dipaksa untuk menyerahkan
kepada pemiliknya yang sah.
Pada akhir Perang Dunia II para pejuang-pejuang Indonesia mulai melakukan
pengambilalihan sumber-sumber minyak peninggalan Belanda. Dimulai pada
penyerahan lapangan minyak eks konsesi De
Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Pangkalan Brandan (Sumatra
Utara) dari pihak Jepang kepada pihak Indonesia pada September 1945. Pemerintah
RI kemudian membentuk Perusahaan Tambang Minyak Nasional Rakyat Indonesia
(PTMNRI) untuk mengelola. Kemudian ladang-ladang minyak ex Stanvac di Talang
Akar dan Stanvac juga diambil alih oleh pemerintah RI pada tahun 1946, yang
segera membentuk Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI). Karyawan
minyak di Cepu mengambil alih kilang dan sumur-sumur di Kawengan dari tangan
Jepang, kemudian mendirikan Perusahaan Tambang Minyak Negara (PTMN) pada tahun
yang sama.
3. Pertambangan Minyak Pasca
Kemerdekaan Hingga Sekarang
Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 membawa angin
perubahan, pejuang-pejuang Indonesia mulai melakukan pengambilalihan
sumber-sumber minyak peninggalan Belanda. Dimulai pada penyerahan lapangan
minyak eks konsesi BPM di Pangkalan Brandan (Sumatra Utara) dari pihak Jepang
kepada pihak Indonesia pada September 1945. Pemerintah RI kemudian membentuk
Perusahaan Tambang Minyak Nasional Rakyat Indonesia (PTMNRI) untuk mengelola.
Kemudian ladang-ladang minyak ex Stanvac di Talang Akar dan Stanvac juga
diambil alih oleh pemerintah RI pada tahun 1946, yang segera membentuk Perusahaan
Minyak Republik Indonesia (PERMIRI). Karyawan minyak di Cepu mengambil alih
kilang dan sumur-sumur di Kawengan dari tangan Jepang, kemudian mendirikan
Perusahaan Tambang Minyak Negara (PTMN) pada tahun yang sama. Kilang Wonokromo
dan ladang minyak di sekitar Surabaya gagal direbut karena keburu kedatangan
pasukan Sekutu, yang diboncengi NICA (Nederlands
Indies Civil Administration) pada September 1945. Setelah kejadian pasca
NICA (Nederlands Indies Civil
Administration) setahun kemudian pada September 1946 utusan Caltex dapat
berkunjung ke Pekanbaru termasuk Minas terutama Sumur Minas No 1, Sebanga dan
Duri.
Akhir
tahun 1949 tercapailah persetujuan Roem-Royen yang menyatakan pengakuan Belanda
atas kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memungkinkan Calte
kembali ke Sumatera Tengah untuk mengembangkan Minas dan memulai pengeboran
tanggal 1 Desember 1949. Tanggal 8 Februari 1950 dengan kedalaman 2.650 kaki,
mempertegas data-data yang diterima dari petugas-petugas Jepang pada taun 1945
dan menghasilkan 2.000 barrel minyak sehari yang mengalir ke permukaan melalui
pipa satu inchi.
Belanda
melancarkan Agresi Militer I tahun 1947 dan daerah sasaran utamanya adalah
ladang-ladang minyak tersebut. Itu sebabnya, oleh Belanda agresi ini diberi
sandi "Operatie Produkt[7]"
karena tujuannya mengamankan sumber-sumber produksi pengolahan sumber daya
alam. Pejuang-pejuang bereaksi dengan membumi hanguskan sumur-sumur dan kilang
di Pangkalan Brandan. Sedangkan sumur-sumur minyak di Riau, Jambi dan Sumatra
Selatan berhasil direbut tanpa perlawanan berarti, karena komando TRI (Tentara
Republik Indonesia) di daerah itu masih lemah.
Ladang-ladang
minyak di Sumatra Selatan segera dikembalikan kepada Stanvac dan berhasil
mencapai tingkat produksi tertinggi pasca Perang Dunia II pada tahun 1948.
Demikian pula dengan ladang-ladang minyak di Riau dan Jambi (Sumatra Tengah)
yang dikembalikan kepada Caltex, yang segera memproduksi minyak pada tahun
1949. Ladang minyak Cepu pun demikian, setelah direbut pada Agresi militer I,
segera diambil alih pengelolaannya oleh BPM dan PTMN bubar jalan dengan
sendirinya, karena pekerjanya diancam dengan todongan senjata apabila tidak mau
bekerja untuk BPM. NNGPM segera menggarap ladang minyak Klamono di Kepala
Burung Papua dan pada tahun 1948 sudah berhasil memproduksi hingga 4000 bopd.
Setelah
pengakuan kedaulatan Indonesia pada KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag,
Belanda pada 27 Desember 1949, Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat dan
kemudian kembali menjadi RI) tetap memberikan hak pengelolaan sumur-sumur
minyak kepada pengelola lamanya, seperti BPM, Caltex, Stanvac, Shell dll. Pada
tahun 1951 PTMN diambil alih oleh pemerintah RI dan diubah namanya menjadi PN
Permigan (Perusahaan Minyak dan Gas Negara).
Tahun 1952 ladang minyak Minas yang
dikelola Caltex mulai mengekspor minyak ke luar negeri. Tahun 1954 Pemerintah
RI mengambil alih PTMRI dan mengubahnya jadi PTMSU (Perusahaan Tambang Minyak
Sumatera Utara). Kebanyakan
dari daerah konsesinya terletak dicekungan Sumatera Tengah.
Penemuan-penemuannya yang penting, yaitu lapangan Duri dan Minas, dibuat belum
lama sebelum perang dan sesungguhnya Duri baru memulai produksinya ditahun
1941. Jadi ketika perusahaan ini akhirnya memperoleh kembali konsesinya ditahun
1950 masa-masa terbaik untuk pengembangan dan eksploitasi masih akan tampil.
Perusahaan ini memper-gunakan kesempatan sebaik-baiknya didaerah ini dengan
melakukan eksplorasi geofisik dan seismik yang luas ditahun 1950-an.
Berdasarkan
pengamatan penulis, Indonesia pertama kali mengekspor minyak bumi pada tahun
1969 dengan harga ekspor 1,67 Dolar AS per barel. (1 barel sama dengan 159
liter). Tapi hal ini sedikit berbeda sedangkan swasta terutama Caltex mampu mengeskpor
minyak Minas sejak tahun 1952 hal ini berarti 17 tahun lamanya pemerintah mampu
mengeskpor minyak, hal ini memang terjadi bahwa di Indonesia sebelum 1969
memiliki gejolak diberbagai daerah hingga pemberontakan membuat kegiatan
produksi minyak menjadi bahan jadi untuk diekspor terkendala akibat serangkaian
konflik politik hingga ketidaktersediaan infrastruktur dalam mengolah
pertambangan khususnya minyak bumi.
Sejak tahun
1969-1994 atau 25 tahun produksi, harga ekspor minyak bumi dari Indonesia tertinggi
yakni produksi tahun 1981 dan 1982 sebesar US$ 35 per barel. Pada bulan Oktober
1990, harga ekspor minyak buymi Indonesia yang ditawar oleh importir asing
relatif tinggi yakni sebesar US$ 34,88 per barel. Tahun 1950-an, kedua kilang
Shell yang besar mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar dari Serawak. Sejak
itu, rehabilitasi daerah-daerah eksploitasi Sumatera Selatan dan bahkan
penyelesaian saluran pipa dari lapangan baru Tanjung di Kalimantan Selatan
kekilang Balikpapan ditahun 1955, nampaknya tidak dapat membuat perusahaan ini
swasembada dalam minyak mentah Indonesia. Impor terus berlangsung sekitar satu
setengah juta ton setahun atau hampir 20% dari bahan baku kilangnya. (lihat
Tabel 2).
Caltex, pemegang
konsesi dari lapangan-lapangan Duri dan Minas yang baru saja diketemukan, jauh
lebih beruntung. Daerah-daerah ini baru dalam tahap permulaan dari masa
pengembangan. Minas malai menghasilkan dalam tahun 1962, menambah output rendah
dari Duri. Pada tahun 1958 ketika Caltex selesai membangun terminal samuderanya
di Dumai, dari kedua lapangan tersebut, perusahaan ini menghasilkan 7.318.000
ton per tahun atau 45% dari produksi Indonesia. Dengan demikian
lapangan-lapangan Indonesia yang lama hanya sedikit mengadakan expansi jangka
panjang, dan sebagian besar dari kenaikan produksi berasal dari
lapangan-lapangan yang baru dieksploitir dan yang diketemukan beberapa waktu
sebelum perang.
Saluran pipa dibangun ke
terminal-terminal di Sungai Siak untuk mengalirkan produksi dari lapangan Minas
ke pelabuhan dan kemudian jaringan pipa dibuat dari Duri dan Minas ke Dumai
dimana sebuah terminal samudera yang sanggup menampung tanker-tanker berukuran
80.000 ton didirikan ditahun 1958. Dalam tahun 1963 kedua lapangan ini
menghasilkan lebih dari 50% (11.534.000 ton) dari produksi Indonesia.
Kemungkinan besar ditahun 1965 keduanya menghasilkan 13.5 juta ton atau lebih.
Kini Caltex tanpa diragukan, adalah produsen minyak mentah terkemuka dan
didalam kedua lapangan ini memiliki penemuan-penemuan yang paling produktif dalam
sejarah perminyakan Indonesia[8].
Hal ini dapat
dikatakan bahwa daerah Minas menjadi ramai sebagai penyangga kota Pekanbaru dan
pintu gerbangnya Kabupaten Siak sehingga tidak heran Minas merupakan kota yang mesti mendapat
perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Siak dan harus diproteksi oleh
Provinsi Riau sebagai salah satu tempat strategis dalam kebutuhan vital
masyarakat akan sumber energi, secara sosial didaerah Minas banyak pendatang
karena pertumbuhannya yang pesat dibandingkan daerah yang lainnya di Riau ini
disebabkan karena adanya ladang minyak yang kaya bersama Duri dan Dumai karena
banyaknya pembukaan sumur minyak yang dibor pada awal mulanya enam buah sumur
sebagai suatu lapangan minyak utama sehingga rumah-rumah permanen segera
dibangun dan mulai banyak pendatang mulai ikut pindah ke Minas dan Rumbai,
walaupun Minas merupakan lapangan minyak ketiga yang ditemukan di daerah Caltex
di Sumatera, namun Minas merupakan yang pertama menghasilkan minyak untuk
ekspor pada bulan Januari 1959 melalui Dumai kemudian pada bulan Agustus 1959
pengapalan produksi Minas melalui Perawang dan Pakning dihentikan karena
melalui Dumai lebih cepat dan strategis karena bisa menghubungkan dengan
negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura serta luar negeri.
Prestasi ladang minyak Minas memberi sumbangan
besar dari tahun 1970-1980 rata-rata produksi di kisaran 200.000-400.000 bopd
(barrel oil per day) bagi produksi minyak mentah Indonesia, Minas dapat
berpeluang sangat besar menjadi penyangga daerah karena merupakan salah satu
kota yang menghubungkan kota satu dengan yang lainnya ke arah utara. Tahun 1963
pada buan November Caltex mencatat produksi lapangan minyak minas sejak 1952
berjumlah 500.000.000 barrel hal ini semakin meningkat pada tahun 1969 bulan mei
produksi lapangan minyak Minas sejak 1952 berjumah 1.000.000.000 barrel.
Tabel 2
Perincian minyak mentah dan hasil-hasil minyak menurut perusahaan, 1963
(ribuan metric ton)
Perusahaan
|
Produksi Minyak Mentah
|
Throughput Kilang
|
Ekspor
|
Minyak Disediakan Untuk Pasar
Domestik
|
||||
Lapangan Sendiri
|
Perusahaan Lain
|
Minyak Mentah Impor
|
Total
|
Minyak Mentah
|
Hasil-Hasil Minyak
|
|||
Caltek
|
11.534
|
|
|
|
|
10.755
|
|
506
|
Shell
|
5.351
|
5.351
|
4721
|
1.415
|
7.138
|
|
2.591
|
1.881
|
Stanvac
|
3.327
|
2.637
|
8072
|
|
3.444
|
529
|
1.423
|
1.246
|
permina
|
1.1733
|
|
|
|
|
995
|
|
|
Pertamin
|
761
|
|
|
|
|
|
|
420
|
Permigan
|
129
|
123
|
|
|
1233
|
|
|
123
|
Total
|
22.275
|
8.111
|
1.279
|
1.415
|
10.8054
|
12.297
|
4.1765
|
4.013
|
Sumber : “Industri Perminyakan di Indonesia P.T. Badan
Penerbit Indonesia Raya Jakarta 1974” hal 18
Perkembangan Minyak Minas dari mulai ditemukan hingga
produksi hingga sekarang telah melewati banyak proses yang terjadi dari masa
penjajahan pemerintah Hindia Belanda hingga masa sekarang, tanpa adanya
pertambangan minyak Minas, Riau daerah tersebut tidak akan berkembang hingga
sekarang Perkembangan dan kemajuan industri Migas di Indonesia khususnya di
Minas seyogiyanya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat-banyak
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945. Harga bahan bakar
minyak (BBM) dan harga gas (LPG) yang relatif murah merupakan salah satu bentuk
nyata dari upaya Negara (pemerintah) untuk mensejahterakan rakyat sekarang
Minas sudah mulai berkembang tidak seperti dulu dengan adanya bantuan dari
perusahaan minyak disekitar daerah tersebut.
Pertambangan
minyak disekitar Minas tentunya juga harus melihat sisi lingkungan yang dulunya
daerah Minas masih berbentuk hutan yang masih berfungsi kini telah menjadi
kering sehingga pertambangan harus memikirkan dampak lingkungan Di satu sisi, revisi
tata ruang wilayah menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari tidak hanya
karena alasan perkembangan demografis tetapi juga tuntutan ruang untuk
memfasilitasi perkembangan demografis baik untuk kebutuhan infrastruktur publik
maupun sosial ekonomi. Namun demikian, revisi tata ruang identik dengan adanya
potensi perubahan peruntukkan dan fungsi kawasan hutan Di satu sisi, revisi
tata ruang wilayah menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari tidak hanya
karena alasan perkembangan demografis tetapi juga tuntutan ruang untuk
memfasilitasi perkembangan demografis baik untuk kebutuhan infrastruktur publik
maupun sosial ekonomi, hal inilah yang menjadi perkembangan Minas menjadi pesat
dibandingkan kecamatan lain yang berada di Kabupaten Siak. Namun demikian, revisi
tata ruang identik dengan adanya potensi perubahan peruntukkan dan fungsi
kawasan hutan hal inilah selama perkembangan daerah Minas mulai menjadi kering
dan suhu sekitar menjadi panas.
Bidang.
pertambangan minyak pada tahun 1950 telah diselesaikan, pengeboran 6 sumur
pengembangan atau sumur produksi di Minas, yang di kemudian hari ternyata
merupakan lapangan minyak terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia; bahkan merupakan salah satu lapangan minyak
raksasa di dunia. Di bidang pertambangan umum, dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan pertambangan milik Belanda
merupakan peristiwa penting bagi pembangunan pertambangan selanjutnya. Pada
tahun 1959 semua perusahaan Belanda antara lain perusahaan tambang batubara,
timah, emas, dan bauksit ditetapkan pengelolaannya oleh Biro Urusan
Perusahaan¬perusahaan Tambang Negara (BUPTAN). Konsesi-konsesi pertambangan
sejak perang kemerdekaan yang tidak diusahakan lagi atau baru diusahakan dalam
tahap permulaan dikenakan pembatalan hak-hak pertambangan sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1959. Daerah-daerah bekas konsesi yang
dibatalkan hanya dapat diusahakan oleh perusahaan negara atau perusahaan milik
daerah Swatantra.
Minas
yang kini telah berkembang menjadi daerah industri pertambangan minyak sudah
melalui berbagai proses serta kebijakan yang terjadi dari awal yang dulu hutan
belantara kini menjadi pusat pertambangan dan awal dijajahan dari Belanda hingga Jepang lalu
memasuki kemerdekaan hingga kini dibawah pemerintah Indonesia telah banyak serentetan
hal yang dilalui, dilihat dari fase perkembangan Pertambangan Minyak Minas
Penulis melihat ada 3 Fase:
1. Fase
Masa Penjajahan
Pada masa ini pertambangan minyak di Riau sudah dimulai
dengan adanya Konsesi yang bernama “Kontrak 5A” untuk daerah di Sumatera Tengah
diberikan kepada CALTEX. (termasuk lapangan MINAS) tentu saja melalui
persetujuan pemerintah Hindia Belanda dengan adanya persetujuan tersebut bahwa
daerah Minas pada masa itu belum di eksplorasi dan masih hutan belantara, 65
tahun setelah pertambangan minyak di jawa tahun 1871 maka pada tahun 1936,
berarti Minas mulai berkembang sejak 1936 dengan adanya kontrak tersebut
sehingga membuat daerah tersebut berkembang dengan terbukanya daerah tersebut sebagai
hasil produksi dan pemerintah Hindia Belanda maka mengirimkan ahli berserta tenaga kerja untuk
mengeksplorasi minyak di Minas.
Memasuki
penjajahan Jepang daerah pertambangan tersebut secara paksa dibawah
pemerintahan Jepang dan menanam tanaman jarak dengan tujuan industri sehingga
pertambangan minyak Minas tetap dilanjutkan dan minyak tersebut diteliti oleh
pemerintahan Jepang tapi hal ini tidak berlangsung lama sebab Jepang sudah
mengaku kalah dalam Perang Dunai II tapi hal ini dilanjutkan kembali oleh pihak
swasta yang melihat perkembangan minyak yang ada di Riau Khususnya Minas.
2. Fase
Kemerdekaan dan Orde Lama
Memasuki masa kemerdekaan pemerintah Jepang tidak lama
menguasai daerah Asia Tenggara dan pertambangan minyak beralih ke pemerintah
Indonesia tapi belum banyak ahli pertambangan pada masa itu sehingga
digunakanlah ahli dari pihak swasta dan melalui Permina seluruh pertambangan
dibawah pemerintah Indonesia dan memulai reformasi didalam birokrasinya secara
berkesinambungan sejak tahun 1946 sehingga proses pertambangan memiliki
birokrasi tersendiri dengan tujuan melindungi pertambangan strategis guna
kepentingan umum.
Selama fase kemerdekaan 1945-1960-an di Indonesia sering
terjadi permasalahan politik hingga sampai terjadinya pemberontakan, tapi di
Minas tidak terpengaruh terhadap permasalahan politik yang terjadi sehingga
kegiatan dalam pengeboran minyak tetap dilakukan tapi untuk permasalahan ekspor
agak sedikit terganggu akibat adanya beberapa permasalahan tersebut, daerah
Minas tentu saja pernah masuk dalam wilayah Agresi Militer dan kemudian
berhasil lepas dengan adanya perjanjian terutama Roem-Royen lalu kemudian
adanya pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) gerakan pertentangan antara
pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
Produksi minyak mentah dalam suasana
begini beranjak sangat lambat dari 302.000 metric ton ditahun 1946 ke 1.113.000
ditahun 1947, 4.326.000 ton ditahun 1948 dan 5.930.000 ton ditahun 1949, Sesudah pemerintah Indonesia memegang
kekuasaan ditahun 1949 ketiga perusahaan minyak asing semuanya sangat menonjol
aktif diwilayah Indonesia yang ekonominya kacau dan tenaga asingnya yang
menurut ukuran setempat sangat mewah harus menerima kritik-kritik keras,
walaupun peranan industri ini sangat berharga untuk negara, baik diukur dengan
jumlah penerimaan ekspor maupun dalam pengembangan daerah-daerah terpencil di
Sumatera dan Kalimantan. Perjanjian-perjanjian yang
dibuat antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan pertambangan minyak hanya mencakup
penggunaan penerimaan valuta asing dari ekspor hasil-hasil kilang dan kemudian
dari minyak mentah
yang mula-mula dirundingkan oleh perusahaan-perusahaan ini dengan pemerintah
kolonial Belanda ditahun 1948, mengundang serentetan gugatan-gugatan
nasionalis di Badan Legislatif. Dengan demikian pemerintah baru Indonesia yang
memilih untuk mendukung perjanjian-perjanjian tersebut terutama karena janji mereka untuk
rekonstruksi industri minyak dengan cepat, menghadapi kesukaran dalam
melunakkan suara-suara ekstrim didalam Badan Legislatif, dan kemudian dalam menghadapi
permintaan-permintaan serikat-serikat buruh militan untuk mengacau
perusahaan-perusahaan minyak.
3. Fase
Sekarang
Masa sekarang pertambangan di Minas sudah mulai
berkembang dengan adanya pemekaran wilayah terutama di Kecamatan Minas dengan
mudahnya akses transportasi yang terlihat sekarang dibandingkan dengan dulu,
sarana dan prasarana yang mulai terbangun dan perekonomian yang kini mulai
tumbuh tapi mengingat sumber daya alam terutama minyak yang merupakan bahan
tambang yang tidak dapat diperbarui kini hasilnya mulai menurun dan juga akan
berdampak pada masalah sosial.
Minas yang merupakan salah satu daerah yang
pertumbuhannya cukup pesat dibandingkan dengan daerah lainnya di Riau. Ini
disebabkan Minas mempunyai ladang minyak yang kaya, bersama Duri dan Dumai,
Prestasi ladang minyak Minas memberi sumbangan besar dari tahun 1970-1980,
rata-rata dengan produksi di kisaran 200.000 - 400.000 bopd (barrel oil per day)
bagi produksi minyak mentah Indonesia pada masa itu kini hasil rata-rata
produksi minyak mentah dibawah kisaran tersebut sehingga inilah yang harus
diantisipasi oleh perusahaan maupun pemerintah yang menggunakan daerah Minas
sebagai daerah pertambangan. Seyogiyanya
pemerintah lebih memperhatikan terutama dalam hal kesejahteraan sosial terutama
di daerah Minas yang memiliki sumbangan yang sangat berharga bagi kehidupan
bangsa, dari awal eksplorasi, penelitian yang mendalam, inovasi dan kegiatan
lainnya seharusnya daerah yang memiliki tambang disekitar harus memberi
kesejahteraan bagi masyarakat tempatan karena seluruh pusat pertambangan minyak
yang berada di Sumatera ada di Riau termasuk Minas. Upaya menasionalisasikan
perusahaan asing di Indonesia diatur dalam undang-undang No. 44 tahun 1960.
Supaya tidak menguntungkan salah satu pihak dengan tujuan memberikan dampak
sosial yaitu kesejahteraan bersama.
D.
Kebijakan Pemerintah Indonesia Teradap Minyak Minas,
Riau
Pada 30 Oktober 1957, seiring nasionalisasi perusahaan-perusahaan
asing, KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Jenderal Abdul Harris Nasution, selaku
penguasa perang pusat (Pepera) menugaskan Kolonel dr. Ibnu Sutowo untuk
membentuk perusahaan minyak negara. Pada tanggal 10 Desember 1957 terbentuklah
Perusahaan Tambang Minyak Negara (PERMINA) berdasarkan Keputusan Menteri
Kehakiman RI no. JA.5/32/11 tertanggal 3 April 1958 sehingga
di bidang pertambangan umum, dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958
tentang nasionalisasi perusahaan pertambangan milik Belanda merupakan peristiwa
penting bagi pembangunan pertambangan selanjutnya. Ibnu Sutowo ditunjuk sebagai
Direktur Utamanya. Pada 30 Juni 1958, Permina mulai mengekspor minyak mentah
untuk pertama kalinya, dan pada bulan Agustus melakukan pengiriman ekspor
keduanya, tapi hal ini agak berbeda pada tahun 1952 CALTEX mulai mengekspor
minyak dari lapangan MINAS sedangkan permina 6 tahun setelah itu PERMINA baru
mengekspor minyaknya. Sehingga dapat dilihat bahwa pemerintah pada saat itu
terlambat mengambil langkah mengingat tahun 1950-an memiliki situasi politik
yang sangat panas terutama pemerintah harus meredam pemberontakan yang berada
didaerah-daerah Indonesia dan juga harus menghadapi serangkaian perjanjian
Internasional dan hal ini baru terwujud pemerintah menjalani pertambangan
minyak secara intensif pada taun 1960-an.
Selama tahun 1945-1960-an di Indonesia sering terjadi
permasalahan politik hingga sampai terjadinya pemberontakan, tapi di Minas
tidak terpengaruh apa yang terjadi sehingga kegiatan dalam pengeboran minyak
tetap dilakukan tapi untuk permasalahan ekspor agak sedikit terganggu akibat
adanya beberapa permasalahan tersebut daerah Minas tentu saja pernah masuk
dalam wilayah Agresi Militer dan kemudian berhasil lepas dengan adanya perjanjian
terutama Roem-Royen lalu kemudian adanya pemberontakan PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)
gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta)
yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 tidaklah membuat kegiatan
pertambangan yang ada di Minas terganggu dan tetaplah berjalan seperti biasa
pada masa orde lama setiap izin usaha memang dipersulit oleh pemerintah karena
kebijakan presiden Soekarno terhadap blok barat terutama dengan Amerika,
perusahaan swasta tetaplah dipekerjakan dengan diawasi oleh pemerintah tapi
ujungnya dikelola oleh pihak swasta itu sendiri.
Permina menjalin kerja sama dengan perusahaan minyak
Jepang North Sumatera Oil Development
Co-operation Company (NOSODECO),
dimana Permina mendapat pinjaman modal yang dibayarkan dengan minyak mentah.
Permina membuka kantor perwakilannya di Tokyo. Tahun 1960, PT Permina berubah
status menjadi Perusahaan Negara atau (Badan Usaha Milik Negara, sekarang
disingkat BUMN) dengan nama PN Permina semenjak masa orde lama hubungan dengan
blok barat terasa memanas karena setiap izin dari pihak asing terutama barat
dipersulit dengan tujuan belum siapnya masyarakat Indonesia dalam hal
pengolahan bahan tambang pada saat itu ditambah ahli pertambangan belum memadai
dengan tujuan eksplorasi bahan tambang dan juga penemuan sumur-sumur baru
terutama ladang minyak.
Tahun 1959 NIAM (Nederlandsche
Indische Aardoil Maatschappij) resmi diambilalih pemerintah RI dan diubah
namanya menjadi PN Permindo (Perusahaan Minyak Nasional Indonesia). BPM/Shell
memulai proyek di Tanjung, Kalimantan Selatan pada tahun yang sama. Tahun 1960
BPM di Indonesia dilikuidasi dan dibentuklah PT Shell Indonesia. Berdasarkan
Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) No. 44 tahun 1960, tertanggal 26
Oktober 1960, seluruh konsesi minyak di Indonesia harus dikelola oleh kepada
negara. Permindo memulai kegiatan komersialnya dalam bentuk perusahaan milik
negara, meskipun sebenarnya yang mengelola tetaplah Shell. Pada tahun tersebut
mengingat bahwa negara mengembalikan kembali kepada pihak swasta dalam
mengelola mengingat pada masa itu Indonesia belum memiliki ahli dalam
pertambangan dan tidak cukupnya tenaga ahli dibidangnnya sehingga membuat
keputusan walau dikelola kepada negara tapi yang mengerjakannya tetaplah pihak
swasta.
Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing
dihapuskan diganti dengan sistem kontrak karya. Pemerintah mengambil alih saham
di Permindo-Shell, kemudian Permindo dilikuidasi dan dibentuklah PN PERTAMIN
(Perusahaan Tambang Minyak Negara). Melalui Peraturan Pemerintah No. 198/1961,
perusahaan tersebut resmi menjadi Perusahaan Negara (BUMN). Tahun 1962
Indonesia resmi bergabung dengan OPEC (Organisation
of Petroleum Exporting Countries, organisasi negara-negara pengekspor
minyak). Sebagai tindak lanjut pengambilalihan Irian Barat melalui perjanjian
New York 1963, pemerintah melalui PN Permina membeli seluruh saham Nederlands Niew Guinea Petroleum
Maatschappij (NNGPM) pada tahun 1964. Pada tahun yang sama, Service Pollution Control Office (SPCO)
Kantor Pengendalian Polusi diserahkan kepada PN Permina.
Perjanjian-perjanjian perminyakan tahun 1963 menandakan
fase baru dalam perkembangan industri minyak Indonesia. Shell dan Stanvac
sepanjang tahun-tahun 1950-an telah merundingkan daerah-daerah eksplorasi dan
pengembangan yang berbatasan dengan daerah-daerah eksploitasi mereka untuk
mempertahankan dan meningkatkan produksi minyak mentah dengan catatan seluruh
wilayah konsensi CPPM/CPOC dikembalikan oleh Caltex kepada Pemerintah Republik
Indonesia berdasarkan Undang-undang No 44/1960, tetapi pelaksanaannya
diserahkan kembali ke Pemerintah Republik Indonesia kepada Caltex.
Mereka tidak mendapat hasil yang
memuaskan dalam upaya ini. Sebaliknya mulai tahun 1959, pemerintah Indonesia
menandatangani beberapa kontrak ad hoc dan perjanjian-perjanjian jangka panjang
dengan perusahaan-perusahaan minyak asing selain Shell, Stanvac dan Caltex. Pada
tahun 1959 pemerintah Indonesia mengambil kebijakan bahwa semua perusahaan
Belanda antara lain perusahaan tambang batubara, timah, emas, dan bauksit
ditetapkan pengelolaannya oleh Biro Urusan Perusahaan¬perusahaan Tambang Negara
(BUPTAN). Konsesi-konsesi pertambangan sejak perang kemerdekaan yang tidak
diusahakan lagi atau baru diusahakan dalam tahap permulaan dikenakan pembatalan
hak-hak pertambangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1959.
Daerah-daerah bekas konsesi yang dibatalkan hanya dapat diusahakan oleh
perusahaan negara atau perusahaan milik daerah Swatantra. Perjanjian-perjanjian
ini umumnya dianggap diciptakan untuk menunjukkan kebebasan pemerintah
Indonesia dalam urusan minyak dan bersamaan dengan itu untuk membiasakan
"ketiga Perusahaan Besar" dengan suatu dasar pemikiran yang mau
mengalah terhadap permintaan-permintaan Indonesia. Termasuk di¬dalamnya suatu
kontrak bantuan teknis dan keuangan antara Permina dan suatu kelompok Jepang North
Sumatera Oil Development Co-operation Company (NOSODECO), untuk merehabilitasi lapangan-lapangan yang dulunya
milik Shell di Sumatera Utara, dengan imbalan penyerahan minyak mentah (salah
satu "kontrak bagi hasil" yang pertama antara Indonesia dengan
perusahaan-perusahaan asing), pada bulan September 1963 Perjanjian Karya
ditandatangani antara perusahaan-perusahaan asing dengan perusahaan-perusahaan
Negara, termasuk antara PT. Caltex Pacifix Indonesia dengan PN Pertamina atas
wilayah-wilayahnya.
a)
CPI
wilaya kangguru seluas 9.030 km2.
b)
C&T
wilayah A, B & C seluas 12.328 km2, yang pelaksanaan operasinya
diserahkan kepada PT. Caltex Pacific Indonesia.
Tahun 1964, lebih dari 600.000 ton per tahun diekspor
untuk kelompok Jepang ini. Permina juga mempunyai kontrak pengeboran di
Sumatera Utara dengan perusahaan-perusahaan Kanada dan Amerika, di Sumatera
Selatan Pertamin menerima advis teknis atas pengeboran eksplorasi dari Shell
selama 1959-1962 dan kemudian memakai sebuah kontraktor Perancis; dan Permigan
dalam tahun 1962 mengontrak suatu kelompok Jepang lainnya untuk merehabilitasi
lapangan-lapangan tua Shell di Kawengan, Jawa dan cadangan-cadangan lainnya
dibeberapa pulau di Indonesia Timur[9].
Mengingat bahwa sekarang lapangan sumur minyak tua sudah
mulai ditinggalkan pasca Perang Dunia II mengingat melalui eksplorasi yang
diperhitungkan terutama biaya eksploitasi tidak ekonomis maka ladang minyak
tadi otomatis dikategorikan sebagai ladang minyak tidak produktif karena tidak
layak dan perusahaan minyak banyak mencari daerah baru yang memungkinkan adanya
bahan tambang minyak baru, kini ladang minyak tua mulai dioperasikan kembali
dengan tujuan guna memenuhi kebutuhan industri, Saat ini, ladang minyak terkaya
yang pernah ditemukan di Indonesia terpusat di provinsi Riau, terutama di
daerah Dumai, Duri dan Minas. Ladang minyak ini telah dieksploitasi sejak lama
dan saat ini menyumbang kurang lebih 60% dari seluruh jumlah produksi minyak
mentah Indonesia..
Latar belakang kontrak bagi hasil ad hoc ini, ketiga
perusahaan internasional berangkat ke Tokyo dibulan Mei 1963 untuk fase
terakhir dari usaha-usaha mereka selama dua setengah tahun untuk mencapai suatu
pengertian dengan pemerintah Indonesia atas dasar Undang Undang Perminyakan
tahun 1960. (pada waktu itu Presiden Sukarno sedang mengadakan kunjungan resmi
ke jepang). Perusahaan-perusahaan ini memasuki perundingan tahap terakhir
dengan menerima kenaikan pajak, tetapi bertekad untuk memperoleh suatu pengertian
yang pasti mengenai masa depan mereka di Indonesia, terutama dalam bidang
eksplorasi dan pengembangan. Dikabarkan perusahaan-perusahaan ini mengejutkan
utusan-utusan Indonesia dengan pernyataan mereka akan berhenti beroperasi di
Indonesia kalau suatu pengertian tidak diperoleh.
Utusan Indonesia juga mempergunakan siasat memojokkan (Brinkmanship) dengan rnenyatakan bahwa
perusahaan-perusahaan itu harus keluar apabila sampai Juni 1963 tidak tercapai
suatu persetujuan. Suatu utusan khusus yang dikirim oleh Presiden Kennedy dari
Amerika yang disertai oleh suatu tim konsultan minyak masuk kedalam perundingan
untuk mencari suatu kompromi yang dapat mempertahankan kedua pihak untuk terus
berunding. Pandangan/pendapat Amerika ialah suatu industri minyak yang tidak
terurus baik, dengan memperhebat kesukaran¬kesukaran ekonomi, akan mendorong
Indonesia lebih jauh kedalam pengaruh komunis[10].
Mengingat pada masa itu Indonesia sedang menghadapi perang dingin dengan blok
barat maupun timur ditambah hubungan Indonesia memburuk dengan pihak Barat
karena tidak menganggap Indonesia sebagai suatu negara merdeka walau sudah
diakui kedaulatannya makanya membuat Indonesia terpaksa masuk lebih dalam ke
blok timur dan mulai terpengaruh oleh Komunis, hal ini memang membuat Amerika
terus melakukan lobi untuk berunding dan mendapatkan tempat produksi di
Indonesia karena Amerika tertarik dengan sumber daya alam terutama minyak. Hal
ini sedikit berbeda pada masa orde baru dimana pada masa orde lama setiap izin
pertambangan atau hubungan dengan blok barat dipersulit akan izin-izin usaha
dan pada masa orde baru semua izin dengan blok barat terutama Amerika semua
izin usaha semakin mudah dan dipelancar karena presiden Soekarno dan Soeharto
berbeda sikap dan pandangan dalam mengambil pandangan terhadap izin usaha
tersebut.
Bidang pengertian kedua belah pihak dituangkan dalam
Pokok-pokok Per-setujuan yang dicapai di Tokyo. Ini menjadi undang-undang
Indonesia dalam bulan Juni 1963, dan dimasukkan kedalam kontrak-kontrak karya,
yang detailnya, sesudah dirundingkan panjang lebar dengan masing-masing
perusahaan, ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 September 1963 antara
Pertamin dengan Calrex, Permina dengan Stanvac, dan Permigan dengan Shell dalam
perjanjian tersebut BUMN yang ada menjadi mitra kerjasama dalam hal
pertambangan.
Ada lima elemen pokok didalam perjanjian-perjanjian ini:
1.
Masing-masing
perusahaan melepaskan hak konsesi yang diberikan dibawah pemerintahan kolonial
dan sebagai gantinva setuju untuk bertindak sebagai kontraktor salah satu dari
tiga perusahaan Negara. bertindak sebagai kontraktor untuk salah satu dari tiga
perusahaan Negara.
2.
Sebagai
gantinya mereka diberikan kontrak jangka duapuluh tahun untuk meneruskan
eksploitasi daerah-daerah konsesi lama. Lebih penting lagi, mereka diizinkan
membuat aplikasi untuk kontrak-kontrak jangka tiga puluh tahun untuk
menyelidiki dan mengembangkan daerah-daerah baru yang berdampingan dengan
konsesi-konsesi yang ada. Kontrak-kontrak daerah baru memerlukan pembayaran
bonus sebesar US$ 5 juta pada waktu itu juga, dan kelangsungan kontrak
tergantung kepada pengeluaran sebesar US$ 15 juta selama delapan tahun untuk
tiap-tiap daerah, pengembalian daerah-daerah yang tidak terpakai dalam wakru
tertentu, pembayaran US$ 5 juta lagi jika produksi komersiil terlaksana,
lndonesianisasi pegawai perusahaan yang beroperasi dst.
3.
Fasilitas-fasilitas
pemasaran dan distribusi akan diserahkan kepada perusahaan-perusahaan negara
yang mengontrak dalam waktu lima tahun dengan harga yang didasarkan pada rumus
yang disetujui dimana biaya-biaya perolehan (acquisition costs) aktiva semula akan disusutkan. Perusahaan setuju
menyediakan hasil-hasil minyak kepada organisasi distribusi negara dengan harga
pokok ditambah dengan 10 sen Amerika per barrel selama masih diperlukan. Sambil
menunggu pengoperan, distribusi akan dilakukan oleh perusahaan asing dengan
biaya tambahan sebesar 10 sen Amerika untuk setiap barrel.
4.
Aktiva-aktiva
kilang akan diserahkan kepada pihak Indonesia dalam waktu sepuluh sampai lima
belas tahun, juga tergantung kepada suatu rumus yang disetujui bersama untuk
penentuan nilainya. Sesudah itu pihak perusahaan asing akan bersedia membekali
minyak mentah untuk kilang-kilang perusahaan negara Indonesia atas dasar harga
pokok ditambah 20 sen Amerika per barrel untuk jangka yang diperlu¬kan dan
dalam jumlah sampai dengan 25% dari hasil minyak mentah dari lapangan-lapangan
Indonesia.
5.
Keuntungan
operasi dari perusahaan-perusahaan internasional ini mulai Juni 1963 akan
dibagi dengan perbandingan 60:40 antara pemerintah dan perusahaan. Tetapi walau
bagaimanapun pemerintah akan menerima paling kurang 20% dari nilai kotor minyak
mentah yang dihasilkan dalam tiap tahun oleh perusahaan asing[11].
Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seharusnya
pemerintah lebih menguasai pertambangan yang merupakan aset negara yang
dikelola oleh negara, bukan diserahkan secara swasta terutama pihak asing. Hal
ini jelas sumber daya alam akan menipis dan akan menjadi bahan yang vital
sekaligus strategis dijual di pasaran internasional. Pasal 33 UUD Tahun 1945
merupakan landasan filosofi bagi negara/pemerintah dalam pengelolaan Migas. Pasal
33 ayat (2) menyebutkan: ’Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara’. Kemudian Pasal
33 ayat (3) menyebutkan: ’Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. dari bunyi Pasal 33 tersebut di atas, terdapat hak negara
untuk menguasai sumber daya alam, termasuk sumber alam Migas. Karena Migas
merupakan salah satu cabang produksi yang penting bagi negara.
Pertamina sudah memulai reformasi didalam birokrasinya
secara berkeinambungan sejak tahun 1946, mulai terbentuknya PT. MNRI di tahun
1945 sampai ke PERTAMINA di tahun 1971. Kemudian disusul dengan SK Direksi No.
KPTS-070/00000194 – SO tentang restrukturisasi. Setelah diberlakukannya paket
restrukturisasi pada tahun 1994, maka secara otomatis struktur organisasi
Pertamina Daerah Sumbagut dibubarkan demi tercapainya efisiensi yang lebih
mantap dan lebih berdayaguna serta mempersingkat alur birokrasi. Sejak itu
Pertamina Unit EP I berobah struktur organisasinya menjadi Pertamina Operasi
Eksplorasi dan Produksi Rantau atau disingkat menjadi Pertamina OP. EP. Rantau.
Sebagai salah satu wilayah kerja Direktorat EP, Pertamina OP. EP. Rantau semasa
UEP-I yang memiliki daerah operasi seluas 18.369 Km2 di Provinsi
Sumatera Utara dan Aceh telah melebar sampai ke Sumatera Barat dan Riau
termasuk Kepulauan Natuna kecuali Lapangan Lirik.
Penulis lihat bahwa daerah Minas memiliki sumbangan yang
sangat berharga bagi kehidupan bangsa, dari awal eksplorasi, penelitian yang
mendalam, inovasi dan kegiatan lainnya seharusnya daerah yang memiliki tambang
disekitar harus memberi kesejahteraan bagi masyarakat tempatan karena seluruh
pusat pertambangan minyak yang berada di Sumatera ada di Riau termasuk Minas.
Upaya menasionalisasikan perusahaan asing di Indonesia diatur dalam
undang-undang No. 44 tahun 1960. Supaya tidak menguntungkan salah satu pihak
dengan tujuan memberikan dampak sosial yaitu kesejahteraan bersama. Berdasarkan
UU tersebut ditetapkan bahwa semua kegiatan penambangan minyak dan gas bumi di
Indonesia hanya dilakukan oleh perusahaan minyak negara (Pertamina). Pada tahun
1963, Caltex menjadi badan hukum di Indonesia dengan pemilikan saham
masing-masing 50% SOCAL dan 50% TEXACO
dilihat dari kepemilikan saham seluruhnya sudah dimiliki asing.
Sistem kontrak bagi hasil ini kemudian diperkuat dengan
lahirnya UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas
Bumi Negara (Pertamina).Sistem pengelolaan Migas yang pernah diberlakukan di
Indonesia adalah:
1.
Sistem
Konsesi: kontraktor memiliki kekuasaan penuh atas minyak • yang ditambang dan
wajib membayar royalti kepada negara sistem ini merupakan sistem tertua dalam
kontrak pertambangan. Kontrak ini tidak ada lagi sejak 1961 atau berakhir
sampai tahun 1960;
2.
Sistem
Kontrak Karya: merupakan kontrak (profit
sharing) dimana manajemen ada di kontraktor. Kontrak ini tidak ada lagi
sejak tahun 1983 atau berakhir sampai tahun 1982.
3.
Sistem
Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing
Contract).Technical Assistance
Contract (produksi yang dibagi hanya diperoleh dari pertambahan produksi
setelah secondary recovery. Pembagian
Migas dari total produksi.
4.
Sistem
Joint Operating Body. Kontrak ini
sama persisi seperti sistem kontrak bagi hasil namun pemerintah/pertamina ikut
serta dalam permodalan sehingga komposisi menjadi (50 : 50)[12].
Namun sepanjang sejarah pengusahaan minyak di Indonesia,
terdapat tiga model kontrak kerjasama antara Pemerintah dan kontraktor, yaitu:
(a) sistem konsesi, (b) sistem kontrak karya, dan (c) sistem production sharing
contract yang kita kenal sekarang ini sebagai PSC. Sistem pengelolaan Migas
yang diterapkan dalam industri Migas akan berpengaruh terhadap besar-kecil
jumlah pendapatan negara dari hasil Migas dalam anggaran negara (APBN). Sistem
kontrak bagi hasil merupakan sistem pengelolaan Migas yang paling lama
diterapkan dalam industri Migas di Indonesia.
Distrik Minas, merupakan daerah operasi produksi minyak
jenis Sumatera Light Crude (SLC), Pada bulan
September 1963, ditandatangani perjanjian Calastiatic/Chevron
dan Topco/Texaco (C&T) yang pertama (berdasarkan Perjanjian Karya)
untuk jangka waktu 30 tahun, sehingga Perusahaan minyak asing hanya bisa
beroperasi sebagai kontraktor dengan sistem bagi hasil produksi minyak, bukan
lagi dengan membayar royalty tapi hal ini tidak sesuai dengan yang terjadi di
lapangan. Sejak saat itulah, eksplorasi besar-besaran dilakukan baik di darat
maupun di laut oleh PN Pertamin dan PN Permina bersama dengan kontraktor asing
sebagai mitra kerjasama internasional.
Prinsip-prinsip
kerjasama di dalam sistem konsesi secara umum adalah sebagai berikut: Pertama,
kepemilikan sumber daya minyak dan gas bumi yang dihasilkan berada di tangan
kontraktor (mineral right). Kedua,
kontraktor diberi wewenang penuh dalam mengelola operasi pertambangan (mining right). Ketiga, dalam batas-batas
tertentu, kepemilikan aset berada di tangan kontraktor. Keempat, negara
mendapatkan sejumlah royalti yang dihitung dari pendapatan kotor. Kelima,
kontraktor diwajibkan membayar pajak tanah dan pajak penghasilan dari
penghasilan bersih.
Sejak
diterapkan pertama kali pada tahun 1967, sistem kontrak bagi hasil terus
diperbaiki atau direvisi sampai pada kontrak bagi hasil Generasi III. Diakui
bahwa sistem kontrak bagi hasil masih memberikan keuntungan relatif besar bagi
negara dibanding dengan sistem-sistem lain dalam pengelolaan Migas selama ini.
Sebagai gambaran, generasi pertama (I) (1965 - 1978) dimana cost recovery
dibatasi sebesar 40%, bagian kontraktor adalah 35% bersih dan Domestic Market
Obligation tanpa grace period. Generasi kedua (II) (1978 - 1988) dimana cost
recovery tidak ada pembatasan, bagian kontraktor 15% bersih, investment credit
sebesar 20% dan DMO dengan harga pasar untuk 5 tahun. Generasi ketiga (III)
(1988 - sekarang) dimana mulai dikenalkan adanya FTP (First Tranche Petroleum)
yang besarnya 20% dari produksi kotor serta DMO yang bervariasi antara harga
ekspor dengan harga domestik.
Selama itu
perjanjian tersebut diperpanjang tapi dilihat perusahaan yang mengelola sama
dan tidak berubah, perjanjian selama 30 tahun selesai seharusnya memberikan
perusahaan asing lain untuk mengelola atau perusahaan tambang minyak lokal yang
mengelola sendiri di negeri sendiri sesuai perjanjian antara perusahaan asing
seharusnya menjadi mitra kerjasama usaha dengan tujuan tidak menguntungkan satu
pihak atau memonopoli hasil produksi mengiat bahwa sumber energi fosil yang
semakin berkurang. Persoalan pengelolaan Migas saat ini tidak hanya terbatas
pada aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek politik kebijakan pengelolaan Migas.
Pertama, persoalan ekonomi-minyak dan gas bumi merupakan salah satu issu
sentral yang masih terus menjadi bahan diskusi oleh berbagai lapisan dalam
masyarakat.
Hal ini
menyangkut sejauhmana peran Migas dalam perekonomian nasional sampai saat ini,
termasuk peran Migas dalam meningkatkan pendapatan negara dalam APBN. Kedua,
ekonomi-Migas berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Karena masih sangat
banyak orang yang bergantung kepada Migas termasuk sektor industri, sektor
transportasi dan sektor energi-listrik, dan sektor lain.
Perkembangan
dan kemajuan industri Migas di Indonesia seyogiyanya dapat meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat-banyak sebagaimana yang diamanatkan dalam
Pasal 33 UUD Tahun 1945. Harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga gas (LPG)
yang relatif murah merupakan salah satu bentuk nyata dari upaya Negara
(pemerintah) untuk mensejahterakan rakyat. Disamping itu, jaminan ketersediaan
(supply) Migas juga menjadi kriteria peningkatan kemakmuran rakyat-banyak dari
hasil pengelolaan Migas. Apabila pemerintah belum mampu menjamin ketersediaan
atau pasokan minyak dan gas bagi seluruh masyarakat, maka pemerintah belum mampu
menciptakan ketahanan energi, khususnya energi bahan bakar.
Ketiga,
persoalan dalam pengelolalaan Migas berkaitan dengan politik kepentingan negara
atas sumber alam Migas. Politik kepentingan negara atas sumber alam Migas
tercermin dari sejauhmana keberpihakan dari berbagai regulasi di sektor Migas
yang dibuat pemerintah. Apakah regulasi di sektor Migas yang ada saat ini sudah
berpihak kepada kepentingan negara atau rakyat banyak atau sebaliknya berpihak
kepada kepentingan investor (perusahaan Migas).
Hampir seluruh
Negara mengakui bahwa sumber alam merupakan milik negara. Baik individu,
sekelompok masyarakat maupun suatu organisasi tidak diijinkan secara legal
melakukan ekstraksi atau eksploitasi serta menjual sumber alam mineral tanpa
mendapatkan ijin atau otorisasi terleih dahulu dari Negara atau pemerintah.
apabila jumlah produksi minyak bumi yang cukup besar tersebut sebagian besar
diekspor ke pasar dunia, maka dapat diketahui berapa jumlah uang yang masuk ke
dalam anggaran negara (APBN). Produksi Migas yang “berlimpah” tersebut
seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat banyak
pada saat itu dan saat ini. Realisasi pendapatan negara dari minyak bumi dalam
APBN tahun 2008 misalnya, tercatat berjumlah Rp 169,022 triliun (setara dengan
US$18,777 milyar) dengan harga minyak bumi Indonesia di pasar internasional
rata-rata pada tahun 2008 sebesar US$ 101,31 per barel. Apabila dikalikan
dengan kurs rupiah sebesar Rp 9.000 per dolar AS, maka harga rata-rata minyak
bumi Indonesia di pasar internasional sebesar Rp 911.700 per barel (2008).
Sehingga dapat dilihat berapa banyak keuntungan yang didapat terutama dalam
pengeboran minyak di Minas setidaknya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat
sekitar maupun daerah yang memiliki sumber daya alam tersebut.
Lahirnya UU
Migas di atas memunculkan adanya ketidakpuasan dari berbagai lapisan masyarakat
didahului dengan terjadinya kenaikan harga BBM. Alasan pemerintah untuk
menaikkan harga BBM yakni karena sudah ditegaskan dalam UU Migas Pasal 28 ayat
(2) yang menyebutkan, Harga Bahan Bakar
Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat
dan wajar. Ketentuan ini merupakan salah satu indikasi semakin kuatnya
sistem pasar bebas dalam pengelolaan Migas, tapi hal ini membuat benturan
dengan Pasal 33
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal inilah membuat keraguan pemerintah mengambil
keputusan.
Adanya pertambangan minyak di Minas seperti “gula” yang menarik masyarakat
luas untuk berkerja didaerah tersebut, Indonesia mempunyai sumber alam Migas
yang relatif berlimpah selain itu adanyan jaminan standar dan mutu yang berlaku
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang‑undangan yang berlaku serta
menerapkan kaidah keteknikan yang baik dan menjamin keselamatan dan kesehatan
kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan
perundangan‑undangan yang berlaku dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Pengelolaan
lingkungan hidup berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk
kewajiban pascaoperasi pertamb
[1] Untuk gambaran historis singkat dan struktur umum dari industri ini
sebelum tahun 1940, lihat I, swemle dalam bab 12 dari W.E. pratt dan D.GOO(eds
world geography of petroleum (princeton university press, 1950). Untuk analisa
yang sangat ekstensif dari tahun-tahun permulaan di hindia Belanda lihat F.C.
gerretson, history of the royal duch (leiden :E.J.brill 1957). Diterjemahkan
dengan izin dari AUSTRALIAN ECONOMIC PAPERS. Juni 1966. Beberapa alinea
pembukaan dan penutup telah dihilangkan.
[2] Pipeline to Progress,”The story
of PT Caltex Pacific Indonesia”.hal.11
[3] Setanggi,edisi II/2012.hal 45
[4] ) Lihat Oil and Gas Journal,
28 Desember
1964 (Tambahan
mengenai statistik
perminyakan dunia) untuk perbandingan dengan produksi berbagai Negara.
[5] One day in September 1944, at a remote camp in
central Sumatra; Toru Oki was comparing the logs of two wells. One was a
successful well that had been drilled by an American company at a place called
Sebanga in 1939. The other was a wildcat well being drilled with the American
company's abandoned equipment at a place known as Minas. As he studied the
data, Oki was struck by an inspiration. The wildcat, he informed the drilling
crew, was about to penetrate oil sands
probably around midnight that night or early the next morning.
Tow Oki was
a Japanese geologist. He had taken his degree at Kyushu University only a year
before, at the age of 25. Drafted immediately into one of the Japanese Army's
oil battalions, he had been sent to Sumatra, where in August 1944 he was
assigned as wellsite geologist on a most unusual operation. It was unusual
because the Japanese Army had not come to the Netherlands East Indies to drill
exploratory oil wells; there was plenty of oil being produced in the islands
before the war, and, except in cases where installations had been deliberately
destroyed, it was a simple matter to maintain output and to see that the
product was refined into the various fuels needed. (Pipline to Progress PT.
Caltex)
[6] Ricinus communis merupakan tumbuhan liar setahun (annual) dan biasa
terdapat di hutan, tanah kosong, di daerah pantai, namun sering juga
dikembangbiakkan dalam perkebunan, Tanaman ini merupakan sumber minyak jarak,
dan mengandung zat ricin, sejenis racun.
[7] Operatie Produkt (Bahasa Belanda) Produk Operasi merupakan tujuan
mengamankan produksi pengolahan sumber daya alam.
[8] Andil produksi minyak mentah yang bergeser dari tahun ketahun dapat
dilihat dari angka-angka berikut: (pada tahun 1963 PERMINA hanya mempunyai 5%
dari produksi total). Sumber: swemle, op, cit, dan laporan tahunan bank
Indonesia.
[9] Lihat alex hunter, “the 1963 oil agreements and after”, bulletin of
Indonesian economic studies (Australian national university) no.2 (September
1965) untuk detail-detail lebih lanjut dan kontrak-kontrak ini
[10] Lihat petroleum press service (London), terbitan juni-desember untuk
bermacam-macam komentar mengenai perundingan-perundingan ini, dan economic
intelligence unit-three monthly economic review (Indonesia) no. 45-1963.
[11] Lihat Alex
Hunter,
“The
1963 Oil
Agreements
and After”,
op.cit. untuk analisa mendetail dari syarat-syarat keuangan dan teknis dari
perjanjian Tokyo, dan untuk satu versi dari perjanjian karya, commercial
advisory foundation in Indonesia (C.A.F.I.), legal section circular no H466 (10
desember 1963)
[12] Lihat ‘Memahami
Kontrak Pengelolaan Migas di Indonesia’, dalam
http://ekonomi.kompasiana.com/group/bisnis/2010/04/26/memahami-kontrak-pengelolaan-migas-di-indonesia/
Komentar
Posting Komentar