Sejarah Sumur Minyak Minas,Riau

Sejarah Minyak Minas Riau

.  A  SEJARAH PENEMUAN MINYAK MINAS
Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan (penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas bumi, migas) dengan guna memenuhi hajat hidup orang banyak. Pertambangan kini menjadi kegiatan strategis dan vital bagi kelangsungan hidup suatu negara, penulis meneliti tentang sejarah pertambangan yang berada di Minas, Riau yang kaya akan minyak bumi. Minyak bumi termasuk dalam bahan golongan A yang merupakan barang yang penting bagi pertahanan, keamanan dan strategis untuk menjamin perekonomian negara dan sebagian besar hanya diizinkan untuk dimiliki oleh pihak pemerintah karena menyangkut hajat hidup masyarakat luas. Minyak bumi sekarang ini sebagai sumber energi fosil yang menggerakkan berbagai bidang terutama industri dan energi.
Indonesia adalah salah satu pusat produksi minyak yang tertua didunia. Sejauh ini dapat diketahui bahwa pihak pemerintah Hindia Belanda telah melakukan pengeboran minyak bumi pada tahun 1871, orang-orang Belanda telah mengebor daerah-daerah rembesan minyak dalam usaha memperoleh minyak untuk disaring menjadi minyak lampu dan kegiatan industri selain itu mereka juga mengambil keuntungan dari bisnis minyak bumi. Dalam tahun 1883, seorang penanam tembakau,  Aeilko Janszoon Zijlker, memperoleh sebuah konsesi mengebor di Sumatera Utara, yang menghasilkan produksi komersil pada kedalaman 400 kaki. Konsesi produktif pertama ini sesudah dijualnya kepada kalangan finansil menyebabkan berdirinya "Royal Dutch Company for the Work-ing of Petroleum Wells in the Netherlands Indies". yang kemudian menjadi Royal Dutch Company. Dibentuk pada tahun 1890, perusahaan ini mengambil alih konsesi A.J Zijlker. Banyak pengusaha-pengusaha lain membuka "cekungan sedimenter" di Surnatera Selatan, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur dan Timur Laut. Semuanya ada 18 perusahaan yang aktif dalam masa itu. Akan tetapi karena usaha eksplorasi dan kekuatan finansiil dari perusahaan-perusahaan ini, Royal Dutch dengan segera dapat mendominasi industri minyak. Dalam tahun 1907 perusahaan ini bergabung dengan Shell Transport and Trading Company yang beroperasi di Kalimantan Timur. Demikianlah perusahaan minyak nomor dua paling besar didunia memulai asal usulnya dikepulauan Indonesia[1].
Penemuan minyak oleh Aeilko Janszoon Zijlker memberi awal mula kehidupan daerah Minas dan membuat perusahaan yang tambang membuka pekerjaan di Minas dan membuat daerah itu secara bertahap berkembang tapi Informasi yang dapat dipercaya tentang awal Sumatera terutama di Riau sangat samar tentang adanya penemuan bahan tambang terutama minyak bumi bahkan belum ada yang meneliti hingga ke Minas tentang ada atau tidaknya bahan tambang tersebut, Para pemukim awal yang diyakini adalah masyarakat yang masih mengandalkan kehidupannya dengan berburu dan bermigrasi (nomaden) sekitar tahun 600 dan 2.000 SM. Suku Melayu bergerak disekitar 2.000 tahun yang lalu, bergabung dengan penduduk asli seperti Sakai, Akit dan Talang Mamak dan menyebar di seluruh Riau pada masa penjajahan Belanda pada tahun 1800-1900-an mereka dipekerjakan dibawah pemerintahan Hindia Belanda sebagai buruh kasar baik yang bekerja dibidang perkebunan, pertanian hingga pertambangan.
Asal-usul mengenai nama “Riau”. Berasal dari kata Portugis “Rio”, yang berarti sungai sedangkan akar bahasa Riau berasal dari bahasa melayu yaitu “meriau”, yang berarti waktu yang menguntungkan untuk memancing, dan “riuh” atau “rioh” kata melayu untuk tawar menawar yang menimbulkan keriuhan atau kebisingan dipasar-pasar. Hal ini juga mengatakan bahwa salah satu sultan, awal yang mendirikan kawasan perdagangan disebut Bandarioh di masyarakat Siak. “Bandar” berarti pelabuhan  dan “rioh” berarti bising dan sibuk. Dalam kasus apapun, nama Riau dapat ditemukan dipeta yang berasal dari era kolonial Belanda, Derivasi melayu tampaknya lebih mungkin karena orang Melayu benar-benar dikenal sebagai Melayu yang menduduki sebagian besar Sumatera sebelum kedatangan Portugis. Sedangkan kata Minas sendiri merupakan asal usul dari pohon minei bahkan masyarakat Minas ada yang menyebut asal usul berasal dari perkampungan dari suku Talang Mamak, tapi penulis melihat bahwa daerah Minas, masyarakat yang mulai menetap disana dimulai sejak zaman pendudukan Jepang karena semasa Jepang masyarakat yang didatangkan dari luar Sumatera untuk dipekerjakan di ladang minyak tersebut, hal ini sedikit berbeda pada masa penjajahan pemerintahan Hindia Belanda daerah Minas masih berbentuk hutan belantara hanya sedikit yang tinggal disana dan peneliti asing dengan dibantu masyarakat suku pedalaman saja yang meneliti daerah tersebut untuk mengeksplorasi ada tidaknya pertambangan minyak tersebut, hal ini semakin ramai pada tahun 1960-an dimana perusahaan Caltex mulai beroperasi
Penulis melihat bahwa penggunaan minyak telah ada pada masa lalu tapi penggunaannya berbeda jika dulu sebagai alat perang kini minyak digunakan sebagai bahan pembangkit energi dan menggerakkan industri, teknologi pengolahan minyak bumi semakin berkembang dan pengeksplorasian daerah yang memungkinkan untuk sumber daya semakin luas dari minyak bumi lepas pantai hingga menuju daratan tak terkecuali untuk Minas, melalui proses yang panjang dari eksplorasi, penyelidikan data yang akurat, pengeboran hingga menjadi sumber energi yang dilalui proses panjang dalam sejarah pertambangan di Indonesia khususnya Riau. Penemuan tersebut juga berefek positif terhadap penemuan-penemuan Migas di daerah lain di Indonesia, seperti di Jawa Barat, Sumatera Tengah-Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan khususnya Minas.
Lapangan Minyak  Minas dulunya masih terlindungi oleh hutan belantara dan belum ada yang mengeksplorasi daerah tersebut sehingga belum ada kegiatan yang efektif pada masa itu sedangkan di Jawa usaha pertama pengeboran minyak di Indonesia pada tahun 1871, dilakukan di Cirebon. Karena hasilnya sedikit, kemudian ditutup. Jadi dapat diihat bahwa daerah Minas pada masa itu belum di eksplorasi dan masih hutan belantara, 65 tahun setelah dimulainya pertambangan minyak di Jawa itu maka pada tahun 1936 Konsesi yang bernama “Kontrak 5A” untuk daerah di Sumatera Tengah diberikan kepada CALTEX. (termasuk lapangan MINAS) tentu saja melalui persetujuan pemerintah Hindia Belanda, berarti Minas mulai berkembang sejak 1936 dengan terbukanya daerah tersebut sebagai hasil produksi dan pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ahli berserta tenaga kerja untuk mengeksplorasi minyak di Minas dan mulai dihuni masyarakat luas hingga sekarang. Model pertama kebijakan pertambangan pada masa Hindia Belanda yang diterapkan pada saat itu yaitu sistem konsesi (concession). Sistem ini merupakan model kontrak kerjasama tertua di dunia dalam bidang pertambangan. Amerika Serikat, Australia, Norwegia, Thailand, dan beberapa negara Timur Tengah juga menganut sistem konsesi. Di Indonesia, sistem ini berlaku bagi pengusahaan Migas dengan lahirnya peraturan pertambangan Hindia Belanda Indische Minjwet (1899), yang dibuat atas desakan pihak swasta untuk terlibat di dalam pengusahaan minyak dan gas bumi di Hindia Belanda. Adapun ketentuan konsesi migas (Kontrak 5A) antara lain :
·         Kontraktor bertindak selaku operator sekaligus bertanggung jawab atas manajemen operasi
·         Kepemilikan minyak dan gas bumi berada di tangan kontraktor
·         Kepemilikan aset berada di tangan kontraktor dengan batasan tertentu
·         Negara mendapat pembagian pembayaran royalti dihitung dari tingkat produksi tertentu
·         Pajak penghasilan dikenakan kepada kontraktor dari keuntungan bersih (pajak penghasilan dan pajak tanah)
Provinsi Riau, merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia secara garis besar terdiri dari dataran alluvial (tanah gambut) yang sangat besar ditengah pulau Sumatera, Indonesia. Penulis meneliti tentang sejarah pertambangan terutama pertambangan minyak khususnya berada di Minas sebagaian besar tanah yang ada di Provinsi Riau kaya akan tambang terutama minyak bumi. Daerah yang penulis teliti, Minas termasuk kecamatan di Kabupaten Siak, Riau. Minas merupakan salah satu daerah yang pertumbuhannya cukup pesat dibandingkan dengan daerah lainnya di Riau.  Provinsi Riau yang memiliki hutan lebat sekaligus biosfer gambut terbesar di Sumatera memiliki simpanan alam yang sangat diperlukan oleh hajat hidup orang banyak yaitu Minyak Bumi, pertambangan minyak bumi terletak di Minas.          Tentu saja tantangan mencari minyak akhirnya membawa ahli geologi bahkan tempat yang paling menakutkan dan dalam waktu yang lama akhirnya mereka datang juga ke Riau.[2]  Ini disebabkan Minas mempunyai ladang minyak yang kaya, bersama Duri dan Dumai, Prestasi ladang minyak Minas memberi sumbangan besar dari tahun 1970-1980, rata-rata dengan produksi dikisaran 200.000 - 400.000 bopd (barrel oil per day) bagi produksi minyak mentah Indonesia.
 Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 Residen Riau  dibentuk dan merupakan bagian dari provinsi Sumatera Tengah. Sumatera Tengah  terlalu besar untuk mengelola sebagai salah satu provinsi, bagaimanapun, dan pada tahun 1958 bagian itu dipindahkan ke provinsi yang berdekatan dan sisanya diberikan ke provinsi Riau yang baru, yang memeluk sebagian besar daratan ditambah ribuan pulau hingga kemuka Singapura sampai ke laut Cina Selatan.
Meskipun banyak upaya yang dilakukan oleh para Sultan dan penjajahan Belanda, dan meskipun timbulnya status Provinsi, Riau tetap menganut ke tidak jelasan dalam waktu lama karena adanya permasalahan politik yang terjadi pada masa pasca kemerdekaan. Untuk waktu yang lama pada masa itu Riau hanyalah sebuah desa perdagangan yang bernama Pekanbaru, terletak beberapa puluh kilometer dihulu sungai Siak. Meskipun awal perdagangan meningkat secara signifikan dan kepentingan asing mendirikan operasi karet dan penebangan di Riau, dan tidak ada penyerang yang memilih Riau sebagai target, ketika Jepang melanda Asia Tenggara selama Perang Dunia II, mereka memukul pertama di Sumatera bagian selatan.
     B.     Penemuan Minyak Minas    
Minas adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Siak, Riau.  Minas merupakan singkatan dari Minyak Nasional, demikian celetukan masyarakat Minas ketika mereka ditanya apa itu Minas. Minas merupakan salah satu daerah yang pertumbuhannya relatif pesat dibandingkan dengan daerah lainnya di Riau. Ini disebabkan Minas mempunyai ladang minyak yang kaya. Dulu Minas merupakan daerah hutan belantara yang belum disentuh untuk melakukan kegiatan seperti pertambangan.
Dibandingkan dengan Duri, kota minyak lainnya yang juga tetangga Minas yang berjarak 2 jam perjalanan, pertumbuhan Minas masih jauh ketinggalan dari segi fisik, infrastruktur, akses pelayanan publik dan pusat perbelanjaan serta hal lainnya. Mungkin ini juga desebabkan karena posisi Minas berada dekat dengan Pekanbaru, ibu kota provinsi Riau yang berjarak 30-45 menit perjalanan dengan bus.
Kecamatan Minas saat ini dibagi menjadi satu kelurahan dan empat desa. yaitu kelurahan Minas Jaya, desa Minas Timur, Minas Barat, Mandi Angin dan Rantau Bertuah. Minas dihuni oleh masyarakat yang sangat heterogen. suku Sakai melayu merupakan penduduk asli negeri ini. Seiring dengan berkembangnya proyek dan explorasi minyak nasional, banyak penduduk berdatangan ke Minas mencari penghidupan. Mereka berasal dari tanah Minang, Batak, Jawa, Kalimantan  bahkan Indonesia bagian timur. Di Minas inilah terdapat situs pengeboran pertama kali dan cikal bakal menjadinya perusahaan besar yang ada di Riau yang bernama PT. Chevron Pacific Indonesia. Tetapi perusahaan ini tidak terbentuk begitu saja, ada banyak cerita dan proses yang sangat lama.
Sejarah mencatat, ladang minyak di Minas menjadi catatan penting sebagai penghasil devisa negara yang pernah ditemukan tempo dulu. Manager Corporate Comunicatiaons Sumatera PT Chevron, Tiva menuturkan, menurut catatan sejarah penemuan minyak Minas mengandung arti penting dalam sejarah perminyakan Indonesia, dicapai berkat usaha eksplorasi Caltex (sekarang bernama PT Chevron Pacific Indonesia) sesaat menjelang perang Dunia II, yang dilanjutkan oleh tentara pendudukan Jepang.[3]
Pada tahun 1924, Standard Oil Companny of California (SOCAL) melakukan penelitian di Sumatera Tenga dengan mengirimkan ahli geologinya yaitu Richard B Nelson, 14 tahun berselang yaitu tahun 1938, seorang ahli geologi Amerika bernama Walter E. Nyangren ditugaskan mempelajari daerah di sekitar Minas. Ia melakukan penelitian dengan menggunakan gurdi yang diputar dengan tangan. Enam buah jalan rintis yang sejajar, masing-masing terpisah enam kilometer, ditebas menembus hutan belantara Riau, jalan eksplorasi ini memanjang dari timur laut ke barat daya, dan sepanjang jalan-jalan rintis itu selang 200 meter digali lubang sedalam 20 kaki untuk mendapatkan contoh-contoh dari dasarnya. Tiga ribu buah lubang semacam itu dibuat oleh Nyangren. Daerah ini dinamakannya Minas, mengambil nama sebuah perkampungan Sakai yang berdekatan dengan daerah itu. Konon nama itu berasal dari nama pohon Minei, yang buahnya digunakan sebagai bahan minyak goreng.

Pada 1939, ahli geologi lainnya yang bernama Richard H. Hopper, dikirim ke Minas untuk mengebor dengan bor tangan counterflash yang mampu menembus kedalaman 1.500 kaki. Upaya ini dilakukan untuk menguji hasil perkiraan rombongan sebelumnya yang dipimpin Nyangren. Hal ini dapat disimpulkan bahwa sejarah pertambangan dilakukan oleh peneliti asing dengan tujuan bahan baku untuk industri awal mula dari masa Hindia Belanda yang bekerja sama dengan pihak asing terutama industri dari Inggris dan Amerika yang berminat terhadap pertambangan di Riau khususnya di Minas. Mereka melakukan eksplorasi geologi pada masa itu dapat diketahui mereka meminjam pekerja-pekerja pribumi untuk melakukan kegiatan tersebut.
Pemetaan seismik di Minas pada 1940 menunjukkan adanya suatu anticline atau cembung yang besar dan berlipat-lipat yang sangat ideal bagi akumulasi minyak. James P. Fox, ahli geologi utama pada kantor Caltex di Medan, memilih suatu lokasi pada titik tertinggi pada peta cembung sebagai tempat untuk mengebor sumur percobaan No 1. Jika titik ini berhasil dibor, diperkirakan produksi minyak per hari adalah 2000 barrel minyak. Sebelum terjadinya Perang Dunia II, di Minas dilakukan uji pemetaan daerah tapi belum sempat dilakukan pengeboran hal ini tentu adanya kendala yaitu kurangnya teknologi dan akses pada masa itu.
Tanggal 7 Desember 1941 Perang Dunia II terjadi pengeboran dihentikan dapat dilihat bahwa semua aktifitas dan kegiatan ekonomi terhenti dan untuk melakukan produksi dihentikan karena semua aktifitas pemerintahan Hindia Beanda di kerahkan untuk menghadapi perang, semua pertambangan minyak ditinggalkan tentunya pihak-pihak perusahaan pertambangan yang bekerja di Hindia Belanda melakukan perusakan terhadap peralatan mereka dengan tujuan tidak dapat digunakan oleh pihak musuh terutama Jepang.
Jepang tanggal 10 Januari 1942 melakukan pendaratan pertama di Indonesia terutama Tarakan dan Manado disusul pendaratan tentara Jepang di Sulawesi, Jawa dan Sumatera hal ini membuat tindakan Jepang dengan cepat merebut industri startegis terutama minyak bumi dan karet selain itu tentara jepang melakukan tanaman jarak terutama dalam Pemanfaatan minyak jarak dan turunannya (derivat) sangat luas dalam berbagai industri: sabun, pelumas, minyak rem dan hidraulik, cat, pewarna, plastik tahan dingin, pelindung (coating), tinta, malam dan semir, nilon, farmasi (1% dari total produk dunia), dan parfum. Hal inilah membuat Jepang menggunakan bahan tersebut sebagai bahan baku industri, setelah pendaratan tentara Jepang, seluruh karyawan-karyawan Caltex segera meninggalkan Minas berserta lapangan-lapangan minyak Duri dan Sebanga yang belum produksi.
Karyawan-karyawan Caletx yang meninggalkan daerah Minas diperintahkan untuk menghancurkan alat-alat tambang dengan tujuan supaya tentara-tentara Jepang tidak dapat menggunakannya, tapi Jepang memiliki ahli geologi dan dengan cepat melakukan pengeboran minyak sebagai contoh hasil produksi mereka, menjelang akhir tahun 1945 Richard H Hooper meminta bantuan Jepang untuk mengambilkan inti dan contoh minyak bumi dari Sumur Minas No 1 berserta catatan mengenai sumur serta hasil percobaannya untuk di teliti di laboratorium.
Hanya satu lapangan, Minas di Sumatera Tengah yang diusahakan Caltex, berada dalam kategori lebih dari 10.000.000 ton per tahun (sedangkan Iran, Irak, Kuwait dan Saudi Arabia masing-masing mempunyai dua lapangan atau lebih dengan produksi dua atau tiga kali jumlah ini). Suatu indikator lain ialah jumlah sumur dan perbandingannya yang mempergunakan angkatan buatan, Lapangan Minas sekalipun memerlukan 145 sumur untuk mengangkat minyaknya (dibandingkan dengan 60 sumur di lapangan Arabia yang lebih besar) dan dari ini 130 dengan memompa. Hasil produksi Shell berasal dari 18 lapangan, kebanyakan kecil-kecil, dengan mempergunakan 1000 sumur dan Stanvac memperoleh minyak mentahnya dari 500 sumur di Sumatera Selatan dan Tengah, dua pertiga diantaranya dengan angkatan buatan (Lihat Tabel 1). Jadi tanpa eksplorasi yang kontinu untuk memperbesar daerah eksploitasi, hasil¬hasil daerah minyak seperti Indonesia mau tak mau akan mandeg, dan lambat laun berkurang[4].
Stanvac, terutama sangat dipengaruhi oleh larangan eksplorasi baru. Mereka mempunyai 1,8 juta acre konsesi jangka panjang yang berasal dari zaman sebelum perang untuk dikembangkan kira-kira 10% dari semua daerah konsesi minyak jangka panjang di Indonesia. Adanya larangan eksplorasi baru dengan tujuan untuk keseimbangan keanekaragaman hayati selain itu berguna sebagai cadangan minyak untuk masa yang akan datang.

Tabel 1
Produksi Minyak Mentah Indonesia Menurut Daerah
Daerah
Tahun Penemuan
Jumlah Sumur
Produksi
Produktifitas Rata-Rata Persumur (‘000 Metric Ton Pertahun)
Menyembur
Dipompa
Produksi 1964 (‘000 Metric Ton)
Produktif Kumulatif (Juta Metric Ton)
Sumatera






Cekungan utara
1893-1937
99
7
1.613
9.025.7
15.2
Cekungan
1901-1962
260
707
4.433
54.740.8
4.5
Selatan






Cekungan tengah
1939-1958
45
478
14.537
35.211.5
25.9
Total sumatera

404
1.192
20.583
98.978.0
12.9
Kalimantan






Cekungan timur
1897
0
157
0.145
14.566.7
0.9
Tarakan
1906
1
308
0.103
9.261.2
0.3
Bunyu
1930
0
50
0.325
1.580.5
6.5
Tanjung
1938
80
4
1.806
1.860.7
21.5
Total Kalimantan

81
519
2.379
27.269.1
3.9
Jawa
1896-1929
0
114
.175
6.432.2
1.5
Seram
1897
0
0
0
410.1
0.0
Irian jaya
1936
0
28
.113
1.483.3
4.0
Total Indonesia

485
1.853
23.250
134.572.7
10.0
Sumber : “Industri Perminyakan di Indonesia P.T. Badan Penerbit Indonesia Raya Jakarta 1974” hal 17





      C.    Sejarah  Eksploitasi Minyak Minas dari Tahun 1938 - 1963
1.      Minyak Minas dibawah Maskapai Pertambangan Belanda
Menjelang akhir abad ke 19 terdapat 18 prusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1902 didirikan perusahaan yang bernama Koninklijke Petroleum Maatschappij yang kemudian dengan Shell Transport Trading Company melebur menjadi satu bernama The Asiatic Petroleum Company atau Shell Petroleum Company. Pada tahun 1907 berdirilah Shell Group yang terdiri atas B.P.M., yaitu Bataafsche Petroleum Maatschappij dan Anglo Saxon. Pada waktu itu di Jawa timur juga terdapat suatu perusahaan yaitu Dordtsche Petroleum Maatschappij namun kemudian diambil alih oleh B.P.M (De Bataafsche Petroleum Maatschappij).
Jauh sebelum hari kemerdekaan itu Minas hanyalah berupa hutan belantara yang belum digunakan secara maksimal untuk pertambangan dan tentu saja daerah itu belum di eksplorasi secara mendalam, hal ini tentu saja berbeda di tahun 1871, industri perminyakan di sektor hulu telah dimulai dengan adanya pemboran sumur minyak pertama di Indonesia, yakni pemboran sumur di desa Maja, Majalengka, Jawa Barat di lereng Gunung Ciremai, oleh pengusaha Belanda bernama Jan Reerink karena adanya rembesan dari lapisan tersier. Kemudian di tahun 1883, seorang Belanda bernama A.G Zeijlker mencoba membor sumur di tengah perkebunan karet dan menemukan sumber minyak yang pertama di Indonesia yang relatif besar saat itu, yaitu lapangan minyak Telaga Tiga dan Telaga Said di dekat Pangkalan Brandan. Penemuan ini kemudian menjadi modal pertama suatu perusahaan minyak yang kini dikenal sebagai Shell. Pada waktu yang bersamaan, juga ditemukan lapangan minyak Ledok di Cepu (Jawa Tengah), Air Hitam di dekat Muara Enim (Sumatera Selatan), dan Riam Kiwa di daerah Sanga-Sanga (Kalimantan).
Tahun 1930-an di Minas baru diadakan eksplorasi untuk pertambangan minyak hal ini mengindikasikan bahwa daerah Minas layak untuk dijadikan daera pertambangan terutama minyak dengan tujuan untuk kebutuhan industri dan penggunaan bahan baku energi. Tahun 1936 Konsesi yang bernama “Kontrak 5A” untuk daerah di Sumatera Tengah diberikan kepada CALTEX. (termasuk lapangan MINAS) yang terjadi selama masa Hindia Belanda dapat dikatakan Minas di eksplorasi sekitar 1930-an dan masih berupa lapangan minyak belum sampai mengebor. Dalam Indische Mnijwet (1899) yang telah penulis katakan sebagai model pertama pada masa Hindia Belanda, berarti royalti kepada Pemerintah ditetapkan sebesar 4 persen dari produksi kotor dan kontraktor diwajibkan membayar pajak tanah untuk setiap hektar lahan konsesi. Kontrak 5A disebut juga sebagai konsesi yang mengacu pada Indische Mijnwet (Undang-undang pertambangan Hindia Belanda) tahun 1899 yang mengatur tentang pengusahaan pertambangan Indonesia, konsesi merupakan perjanjian yang dibuat oleh negara pemilik atau pemegang kuasa pertambangan dengan kontraktor untuk melakukan eksplorasi dan jika berhasil produksi serta memasarkan hasilnya tanpa melibatkan negara pemberi konsesi dalam manajemen operasi.
Sedangkan Model kedua adalah sistem kontrak karya (contract of work). Model ini diterapkan dengan terbitnya UU Nomor 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan, sekaligus mengakhiri berlakunya Indische Minjwet (1899). Tidak seperti model konsesi, model kontrak karya ini hanya berlaku dalam periode yang relatif singkat, antara tahun 1960 – 1963. Dalam kontrak karya, kontraktor diberi kuasa pertambangan, tetapi tidak memiliki hak atas tanah permukaan. Prinsip kerjasamanya adalah profit sharing, atau pembagian keuntungan antara Pemerintah dan kontraktor, model ini berlaku sejak Indonesia merdeka.
Cadangan minyak yang pertama kali ditemukan Caltex terdapat dilapangan Sebanga pada bulan Agustus 1940. Kemudian berturut-turut pada bulan berukutnya ditemukan kembali cadangan-cadangan minyak yang baru antara lain lapangan Rantau Bais dan lapangan Duri yang masing-masing pada bulan November 1941. Pengeboran minyak di kawasan Riau dimulai pada tahun 1934. Pada tahun 1940 untuk pertama kalinya minyak mulai ditemukan dari lokasi sumur di Sebanga, dan pada tahun 1941 PT.Chevron Pacifik Indonesia (PT. CPI) menemukan ladang minyak di Duri. Pada tahu yang sama pada saat itu, 1941 Pecah perang di Asia Tenggara, penghancuran dan penutupan sumur minyak bumi. 3 tahun berselang yaitu tahun 1944 Tentara pendudukan Jepang yang berusaha membangun kembali instalasi minyak menemukan MINAS, hal ini dapat diihat bahwa sebelum karyawan Hindia-Belanda meninggalkan lapangan minyak Minas, mereka telah menghancurkannya dengan tujuan Jepang tidak bisa menggunakan Lapangan minyak tersebut.
Pertambangan minyak di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dibawah maskapai Belanda N.V Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij (NPPM) yang mengolah pertambangan minyak bumi di wilayah Riau pada bulan Maret 1930, selama abad 20 pertambangan minyak di Indonesia masih dalam tahap eksplorasi dan masih uji coba dan hal itu tidak berlangsung lama, tahun 1942 mercu bor siap dipasang di Minas-1 tapi terhenti oleh adanya perang dunia II dengan penyerangan Jepang ke Indonesia terutama di Tarakan, Kalimantan Barat disini penulis melihat Jepang selama perang dunia II mengincar Sumber daya alam terutama minyak bumi dan karet sebagai bahan baku produksi untuk perang Asia Timur Raya sehingga kegiatan pertambangan Belanda terhenti secara otomatis pertambangan Belanda beralih dibawah naungan Jepang.
Jepang melakukan pengeboran di bawah pimpinan ahli geologi bernama Toru Oki dari Japan Petroleum Exploration Company (JAPEX). Gedok dan Saadi mengunjungi GN de Laive di dalam camp tawanan perang di sekitaran Pekanbaru. Pada akhir 1945, Richard H Hopper meminta bantuan orang Jepang untuk mengambilkan contoh inti dan contoh minyak dari sumur Minas No 1 beserta catatan mengenai sumur serta hasil percobaan produksinya. Contoh inti dan minyak yang dikirim dipelajari di laboratorium.
2.      Pertambangan Minyak Minas pada Pendudukan Jepang
Sayangnya, sebelum  sempat mengebor. Perang Dunia II pecah dengan diserangnya Pearl Harbour oleh Jepang pada tanggal 7 Desember 1941. Disusul dengan pendaratan tentara Jepang di Malaya, Filipina dan Indonesia. Tentara Jepang dengan cepat bergerak ke kawasan Asia Tenggara, pada saat Perang Dunia II semua kegiatan pengeboran minyak terhenti. Karyawan-karyawan Caltex diperintahkan meninggalkan Minas, serta lapangan-Iapangan minyak Duri dan Sebanga yang belum mulai berproduksi itu. Program pengeboran minyak diteruskan oleh tentara Jepang pada bulan Desember 1944 dan membangun membangun kembali instalasi minyak menemukan MINAS.
Tapi Minas seama masa pendudukan Jepang tidak banyak catatan tentang pengeboran minyak tersebut mengingat hanya dalam waktu singkat yaitu tiga setenga tahun. GN de Laive, seorang sarjana Teknik Perminyakan yang ikut ditangkap oleh Jepang, menceritakan kepada dua karyawan pengeboran bangsa Indonesia, Gedok dan Saadi, bahwa tentara Jepang telah mengebor sumur Minas No 1 di tempat yang dipilih Caltex dengan menggunakan peralatan dan beberapa orang bekas karyawan Caltex, dan berhasil.  Jepang melakukan pengeboran di bawah pimpinan ahli geologi bernama Toru Oki[5] dari Japan Petroleum Exploration Company (JAPEX) yang mempelajari data tentang sumur minyak yang berada di Minas pada bulan september tahun 1944 yang telah ditinggalkan oleh maskapai pertambangan minyak Hindia Belanda akibat Perang Dunia II mengenai pengeboran minyak selama penjajahan Jepang tidak terlalu banyak dicatat mengingat waktu penjajahan yang singkat penjajah Jepang hanya melanjutkan pengeboran pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tapi Jepang dapat data mengenai Minas yang memiliki sumber minyak yang melimpah.
 Gedok dan Saadi mengunjungi GN de Laive di dalam camp tawanan perang di sekitaran Pekanbaru. Pada akhir 1945, Richard H Hopper meminta bantuan orang Jepang untuk mengambilkan contoh inti dan contoh minyak dari sumur Minas No 1 beserta catatan mengenai sumur serta hasil percobaan produksinya. Contoh inti dan minyak yang dikirim dan dipelajari di laboratorium. September tahun 1944, disebuah kamp terpencil di bagin Sumatera bagian tengah Toru Oki sedang membandingkan log untuk diuji di laboratorium sebagai studi eksplorasi minyak supaya dapat dipergunakan Jepang dalam pertempuran untuk meredam perlawanan pejuang-pejuang Indonesia. Pengeboran pada masa penjajahan Jepang saat itu hanya melanjutkan pengeboran minyak pada masa penjajahan Belanda dan juga penanaman tanaman jarak dengan tujuan untuk kepentingan akan kebutuhan energi bagi kepentingan perang Asia Timur Raya. Selain itu ditemukan ladang minyak di Minas pada tahun 1944 oleh Jepang karena wilayah tersebut sudah di rebut dan Jepang mempelajari data-data yang ditinggalkan oleh karywan-karyawan Caltex yang ditangkap dan terbukti memiliki potensi sebagai penghasil minyak terbesar di dunia setelah kemerdekaan Indonesia, seluruh pertambangan minyak yang ada di Indonesia menjadi milik pemerintah Indonesia tapi Agresi Militer Belanda.
Perang Dunia Kedua membawa bencana kepada industri perminyakan Indonesia, sesudah invasi Jepang ditahun 1942. Politik “bumi hangus" dari pemerintah kolonial Belanda, dilaksanakan dengan cermat oleh kaum militer. Ini menyebabkan rusaknya lapangan-lapangan, pipa-pipa, alat-alat pompa dan kilang-kilang minyak dan berhasil membatasi produksi untuk Jepang. Diperkirakan Jepang mengeruk 3.250.000 metric ton ditahun 1942, 6.500.000 ditahun 1943. 3 750.000 ton ditahun 1944, tetapi hanva 850.000 ton ditahun 1945 ketika kilang-kilang Sumatera Selatan, terutama, dibom oleh Sekutu. Jumlah-jumlah ini pun sudah termasuk produksi dari sumur-sumur Inggris di Kalimantan Utara. Selama penjajahan Jepang, penggunaan tanaman jarak (Ricinus communis)[6], sangat diperlukan karena adanya kandungan minyak jarak pada biji jarak untuk keperluan industri Pemanfaatan minyak jarak dan hasil dari minyak tersebut sangat luas dalam berbagai industri seperti sabun, pelumas, minyak rem dan hidraulik, cat, pewarna, plastik tahan dingin, pelindung (coating), tinta, malam dan semir, nilon, farmasi (1% dari total produk dunia), dan parfum. Tapi yang terutama dalam penggunaan minyak rem untuk peralatan perang mereka dan tentunya racun dari tanaman jarak digunakan untuk menyiksa lawan-lawan politik pada masa penjajahan Jepang.
Keserakahan Jepang selama masa perang dalam pemeliharaan lapangan minyak dan alat-alat penyulingan yang layak ataupun dalam praktek-prakrek teknik sehat sewaktu memompa minyak memperbesar kerusakan yang disebabkan politik “peniadaan" dari operasi-operasi militer. Selama penjajahan Jepang belum ada perdagangan yang luas (ekspor-import) mengenai produk yang dihasilkan, selain untuk kebutuhan pembuatan jalan (aspal), bahan bakartransportasi, dan mesiu untuk berperang hal ini disebabkan Jepang memaksa seluruh sumber daya yang ada untuk kepentingan perang Asia Timur Raya sehingga adanya penanaman pohon jarak untuk kemudahan bahan bakar selain itu kebutuhan akan minyak bumi sebagai bahan bakar alat perang serta kebutuhan akan karet untuk keperluan militer sangat berguna sehingga membuat harga pertambangan jadi jatuh.
Perang dunia II kegiatan eksplorasi dan pengeboran minyak oleh Caltex di Riau dihentikan. Semua ladang minyak Caltex di daerah itu diduduki dan dikuasai oleh tentara Jepang. Selama pendudukan Jepang, lading minyak Caltex tetap diusahakan oleh tentara Jepang untuk memenuhi kebutuhan minyak Jepang. Demikian pula selama perang kemerdekaan, Caltex menghentikan seluruh kegiatannya di Indonesia. Caltex mulai aktif lagi berproduksi setelah perang kemerdekaan usai
Periode 1945-1950 juga penuh dengan frustasi. Orang-orang Jepang biasanya menyerahkan instalasi-instalasi kepada wakil-wakil Indonesia dan seringkali organisasi-organisasi pimpinan de facto yang timbul dari tindakan ini harus dibujuk untuk mengembalikan peralatan-peralatan yang umumnya mereka pergunakan secara tidak kompeten, atau dipaksa untuk menyerahkan kepada pemiliknya yang sah. Pada akhir Perang Dunia II para pejuang-pejuang Indonesia mulai melakukan pengambilalihan sumber-sumber minyak peninggalan Belanda. Dimulai pada penyerahan lapangan minyak eks konsesi De Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) di Pangkalan Brandan (Sumatra Utara) dari pihak Jepang kepada pihak Indonesia pada September 1945. Pemerintah RI kemudian membentuk Perusahaan Tambang Minyak Nasional Rakyat Indonesia (PTMNRI) untuk mengelola. Kemudian ladang-ladang minyak ex Stanvac di Talang Akar dan Stanvac juga diambil alih oleh pemerintah RI pada tahun 1946, yang segera membentuk Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI). Karyawan minyak di Cepu mengambil alih kilang dan sumur-sumur di Kawengan dari tangan Jepang, kemudian mendirikan Perusahaan Tambang Minyak Negara (PTMN) pada tahun yang sama.

3.    Pertambangan Minyak Pasca Kemerdekaan Hingga Sekarang
Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 membawa angin perubahan, pejuang-pejuang Indonesia mulai melakukan pengambilalihan sumber-sumber minyak peninggalan Belanda. Dimulai pada penyerahan lapangan minyak eks konsesi BPM di Pangkalan Brandan (Sumatra Utara) dari pihak Jepang kepada pihak Indonesia pada September 1945. Pemerintah RI kemudian membentuk Perusahaan Tambang Minyak Nasional Rakyat Indonesia (PTMNRI) untuk mengelola. Kemudian ladang-ladang minyak ex Stanvac di Talang Akar dan Stanvac juga diambil alih oleh pemerintah RI pada tahun 1946, yang segera membentuk Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI). Karyawan minyak di Cepu mengambil alih kilang dan sumur-sumur di Kawengan dari tangan Jepang, kemudian mendirikan Perusahaan Tambang Minyak Negara (PTMN) pada tahun yang sama. Kilang Wonokromo dan ladang minyak di sekitar Surabaya gagal direbut karena keburu kedatangan pasukan Sekutu, yang diboncengi NICA (Nederlands Indies Civil Administration) pada September 1945. Setelah kejadian pasca NICA (Nederlands Indies Civil Administration) setahun kemudian pada September 1946 utusan Caltex dapat berkunjung ke Pekanbaru termasuk Minas terutama Sumur Minas No 1, Sebanga dan Duri.
Akhir tahun 1949 tercapailah persetujuan Roem-Royen yang menyatakan pengakuan Belanda atas kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memungkinkan Calte kembali ke Sumatera Tengah untuk mengembangkan Minas dan memulai pengeboran tanggal 1 Desember 1949. Tanggal 8 Februari 1950 dengan kedalaman 2.650 kaki, mempertegas data-data yang diterima dari petugas-petugas Jepang pada taun 1945 dan menghasilkan 2.000 barrel minyak sehari yang mengalir ke permukaan melalui pipa satu inchi.
Belanda melancarkan Agresi Militer I tahun 1947 dan daerah sasaran utamanya adalah ladang-ladang minyak tersebut. Itu sebabnya, oleh Belanda agresi ini diberi sandi "Operatie Produkt[7]" karena tujuannya mengamankan sumber-sumber produksi pengolahan sumber daya alam. Pejuang-pejuang bereaksi dengan membumi hanguskan sumur-sumur dan kilang di Pangkalan Brandan. Sedangkan sumur-sumur minyak di Riau, Jambi dan Sumatra Selatan berhasil direbut tanpa perlawanan berarti, karena komando TRI (Tentara Republik Indonesia) di daerah itu masih lemah. 
Ladang-ladang minyak di Sumatra Selatan segera dikembalikan kepada Stanvac dan berhasil mencapai tingkat produksi tertinggi pasca Perang Dunia II pada tahun 1948. Demikian pula dengan ladang-ladang minyak di Riau dan Jambi (Sumatra Tengah) yang dikembalikan kepada Caltex, yang segera memproduksi minyak pada tahun 1949. Ladang minyak Cepu pun demikian, setelah direbut pada Agresi militer I, segera diambil alih pengelolaannya oleh BPM dan PTMN bubar jalan dengan sendirinya, karena pekerjanya diancam dengan todongan senjata apabila tidak mau bekerja untuk BPM. NNGPM segera menggarap ladang minyak Klamono di Kepala Burung Papua dan pada tahun 1948 sudah berhasil memproduksi hingga 4000 bopd.
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, Belanda pada 27 Desember 1949, Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat dan kemudian kembali menjadi RI) tetap memberikan hak pengelolaan sumur-sumur minyak kepada pengelola lamanya, seperti BPM, Caltex, Stanvac, Shell dll. Pada tahun 1951 PTMN diambil alih oleh pemerintah RI dan diubah namanya menjadi PN Permigan (Perusahaan Minyak dan Gas Negara).
Tahun 1952 ladang minyak Minas yang dikelola Caltex mulai mengekspor minyak ke luar negeri. Tahun 1954 Pemerintah RI mengambil alih PTMRI dan mengubahnya jadi PTMSU (Perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara). Kebanyakan dari daerah konsesinya terletak dicekungan Sumatera Tengah. Penemuan-penemuannya yang penting, yaitu lapangan Duri dan Minas, dibuat belum lama sebelum perang dan sesungguhnya Duri baru memulai produksinya ditahun 1941. Jadi ketika perusahaan ini akhirnya memperoleh kembali konsesinya ditahun 1950 masa-masa terbaik untuk pengembangan dan eksploitasi masih akan tampil. Perusahaan ini memper-gunakan kesempatan sebaik-baiknya didaerah ini dengan melakukan eksplorasi geofisik dan seismik yang luas ditahun 1950-an.
Berdasarkan pengamatan penulis, Indonesia pertama kali mengekspor minyak bumi pada tahun 1969 dengan harga ekspor 1,67 Dolar AS per barel. (1 barel sama dengan 159 liter). Tapi hal ini sedikit berbeda sedangkan swasta terutama Caltex mampu mengeskpor minyak Minas sejak tahun 1952 hal ini berarti 17 tahun lamanya pemerintah mampu mengeskpor minyak, hal ini memang terjadi bahwa di Indonesia sebelum 1969 memiliki gejolak diberbagai daerah hingga pemberontakan membuat kegiatan produksi minyak menjadi bahan jadi untuk diekspor terkendala akibat serangkaian konflik politik hingga ketidaktersediaan infrastruktur dalam mengolah pertambangan khususnya minyak bumi.
Sejak tahun 1969-1994 atau 25 tahun produksi, harga ekspor minyak bumi dari Indonesia tertinggi yakni produksi tahun 1981 dan 1982 sebesar US$ 35 per barel. Pada bulan Oktober 1990, harga ekspor minyak buymi Indonesia yang ditawar oleh importir asing relatif tinggi yakni sebesar US$ 34,88 per barel. Tahun 1950-an, kedua kilang Shell yang besar mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar dari Serawak. Sejak itu, rehabilitasi daerah-daerah eksploitasi Sumatera Selatan dan bahkan penyelesaian saluran pipa dari lapangan baru Tanjung di Kalimantan Selatan kekilang Balikpapan ditahun 1955, nampaknya tidak dapat membuat perusahaan ini swasembada dalam minyak mentah Indonesia. Impor terus berlangsung sekitar satu setengah juta ton setahun atau hampir 20% dari bahan baku kilangnya. (lihat Tabel 2).
Caltex, pemegang konsesi dari lapangan-lapangan Duri dan Minas yang baru saja diketemukan, jauh lebih beruntung. Daerah-daerah ini baru dalam tahap permulaan dari masa pengembangan. Minas malai menghasilkan dalam tahun 1962, menambah output rendah dari Duri. Pada tahun 1958 ketika Caltex selesai membangun terminal samuderanya di Dumai, dari kedua lapangan tersebut, perusahaan ini menghasilkan 7.318.000 ton per tahun atau 45% dari produksi Indonesia. Dengan demikian lapangan-lapangan Indonesia yang lama hanya sedikit mengadakan expansi jangka panjang, dan sebagian besar dari kenaikan produksi berasal dari lapangan-lapangan yang baru dieksploitir dan yang diketemukan beberapa waktu sebelum perang.
Saluran pipa dibangun ke terminal-terminal di Sungai Siak untuk mengalirkan produksi dari lapangan Minas ke pelabuhan dan kemudian jaringan pipa dibuat dari Duri dan Minas ke Dumai dimana sebuah terminal samudera yang sanggup menampung tanker-tanker berukuran 80.000 ton didirikan ditahun 1958. Dalam tahun 1963 kedua lapangan ini menghasilkan lebih dari 50% (11.534.000 ton) dari produksi Indonesia. Kemungkinan besar ditahun 1965 keduanya menghasilkan 13.5 juta ton atau lebih. Kini Caltex tanpa diragukan, adalah produsen minyak mentah terkemuka dan didalam kedua lapangan ini memiliki penemuan-penemuan yang paling produktif dalam sejarah perminyakan Indonesia[8].
Hal ini dapat dikatakan bahwa daerah Minas menjadi ramai sebagai penyangga kota Pekanbaru dan pintu gerbangnya Kabupaten Siak sehingga tidak heran  Minas merupakan kota yang mesti mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Siak dan harus diproteksi oleh Provinsi Riau sebagai salah satu tempat strategis dalam kebutuhan vital masyarakat akan sumber energi, secara sosial didaerah Minas banyak pendatang karena pertumbuhannya yang pesat dibandingkan daerah yang lainnya di Riau ini disebabkan karena adanya ladang minyak yang kaya bersama Duri dan Dumai karena banyaknya pembukaan sumur minyak yang dibor pada awal mulanya enam buah sumur sebagai suatu lapangan minyak utama sehingga rumah-rumah permanen segera dibangun dan mulai banyak pendatang mulai ikut pindah ke Minas dan Rumbai, walaupun Minas merupakan lapangan minyak ketiga yang ditemukan di daerah Caltex di Sumatera, namun Minas merupakan yang pertama menghasilkan minyak untuk ekspor pada bulan Januari 1959 melalui Dumai kemudian pada bulan Agustus 1959 pengapalan produksi Minas melalui Perawang dan Pakning dihentikan karena melalui Dumai lebih cepat dan strategis karena bisa menghubungkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura serta luar negeri.
 Prestasi ladang minyak Minas memberi sumbangan besar dari tahun 1970-1980 rata-rata produksi di kisaran 200.000-400.000 bopd (barrel oil per day) bagi produksi minyak mentah Indonesia, Minas dapat berpeluang sangat besar menjadi penyangga daerah karena merupakan salah satu kota yang menghubungkan kota satu dengan yang lainnya ke arah utara. Tahun 1963 pada buan November Caltex mencatat produksi lapangan minyak minas sejak 1952 berjumlah 500.000.000 barrel hal ini semakin meningkat pada tahun 1969 bulan mei produksi lapangan minyak Minas sejak 1952 berjumah 1.000.000.000 barrel.


Tabel 2
Perincian minyak mentah dan hasil-hasil minyak menurut perusahaan, 1963 (ribuan metric ton)
Perusahaan
Produksi Minyak Mentah
Throughput Kilang
Ekspor
Minyak Disediakan Untuk Pasar Domestik
Lapangan Sendiri
Perusahaan Lain
Minyak Mentah Impor
Total
Minyak Mentah
Hasil-Hasil Minyak
Caltek
11.534




10.755

506
Shell
5.351
5.351
4721
1.415
7.138

2.591
1.881
Stanvac
3.327
2.637
8072

3.444
529
1.423
1.246
permina
1.1733




995


Pertamin
761






420
Permigan
129
123


1233


123
Total
22.275
8.111
1.279
1.415
10.8054
12.297
4.1765
4.013
Sumber : “Industri Perminyakan di Indonesia P.T. Badan Penerbit Indonesia Raya Jakarta 1974” hal 18

Perkembangan Minyak Minas dari mulai ditemukan hingga produksi hingga sekarang telah melewati banyak proses yang terjadi dari masa penjajahan pemerintah Hindia Belanda hingga masa sekarang, tanpa adanya pertambangan minyak Minas, Riau daerah tersebut tidak akan berkembang hingga sekarang Perkembangan dan kemajuan industri Migas di Indonesia khususnya di Minas seyogiyanya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat-banyak sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945. Harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga gas (LPG) yang relatif murah merupakan salah satu bentuk nyata dari upaya Negara (pemerintah) untuk mensejahterakan rakyat sekarang Minas sudah mulai berkembang tidak seperti dulu dengan adanya bantuan dari perusahaan minyak disekitar daerah tersebut.
            Pertambangan minyak disekitar Minas tentunya juga harus melihat sisi lingkungan yang dulunya daerah Minas masih berbentuk hutan yang masih berfungsi kini telah menjadi kering sehingga pertambangan harus memikirkan dampak lingkungan Di satu sisi, revisi tata ruang wilayah menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari tidak hanya karena alasan perkembangan demografis tetapi juga tuntutan ruang untuk memfasilitasi perkembangan demografis baik untuk kebutuhan infrastruktur publik maupun sosial ekonomi. Namun demikian, revisi tata ruang identik dengan adanya potensi perubahan peruntukkan dan fungsi kawasan hutan Di satu sisi, revisi tata ruang wilayah menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari tidak hanya karena alasan perkembangan demografis tetapi juga tuntutan ruang untuk memfasilitasi perkembangan demografis baik untuk kebutuhan infrastruktur publik maupun sosial ekonomi, hal inilah yang menjadi perkembangan Minas menjadi pesat dibandingkan kecamatan lain yang berada di Kabupaten Siak. Namun demikian, revisi tata ruang identik dengan adanya potensi perubahan peruntukkan dan fungsi kawasan hutan hal inilah selama perkembangan daerah Minas mulai menjadi kering dan suhu sekitar menjadi panas.
            Bidang. pertambangan minyak pada tahun 1950 telah diselesaikan, pengeboran 6 sumur pengembangan atau sumur produksi di Minas, yang di kemudian hari ternyata merupakan lapangan minyak terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia;   bahkan merupakan salah satu lapangan minyak raksasa di dunia. Di bidang pertambangan umum, dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan pertambangan milik Belanda merupakan peristiwa penting bagi pembangunan pertambangan selanjutnya. Pada tahun 1959 semua perusahaan Belanda antara lain perusahaan tambang batubara, timah, emas, dan bauksit ditetapkan pengelolaannya oleh Biro Urusan Perusahaan¬perusahaan Tambang Negara (BUPTAN). Konsesi-konsesi pertambangan sejak perang kemerdekaan yang tidak diusahakan lagi atau baru diusahakan dalam tahap permulaan dikenakan pembatalan hak-hak pertambangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1959. Daerah-daerah bekas konsesi yang dibatalkan hanya dapat diusahakan oleh perusahaan negara atau perusahaan milik daerah Swatantra.
            Minas yang kini telah berkembang menjadi daerah industri pertambangan minyak sudah melalui berbagai proses serta kebijakan yang terjadi dari awal yang dulu hutan belantara kini menjadi pusat pertambangan dan awal  dijajahan dari Belanda hingga Jepang lalu memasuki kemerdekaan hingga kini dibawah pemerintah Indonesia telah banyak serentetan hal yang dilalui, dilihat dari fase perkembangan Pertambangan Minyak Minas Penulis melihat ada 3 Fase:
     1.      Fase Masa Penjajahan
Pada masa ini pertambangan minyak di Riau sudah dimulai dengan adanya Konsesi yang bernama “Kontrak 5A” untuk daerah di Sumatera Tengah diberikan kepada CALTEX. (termasuk lapangan MINAS) tentu saja melalui persetujuan pemerintah Hindia Belanda dengan adanya persetujuan tersebut bahwa daerah Minas pada masa itu belum di eksplorasi dan masih hutan belantara, 65 tahun setelah pertambangan minyak di jawa tahun 1871 maka pada tahun 1936, berarti Minas mulai berkembang sejak 1936 dengan adanya kontrak tersebut sehingga membuat daerah tersebut berkembang dengan terbukanya daerah tersebut sebagai hasil produksi dan pemerintah Hindia Belanda maka  mengirimkan ahli berserta tenaga kerja untuk mengeksplorasi minyak di Minas.
            Memasuki penjajahan Jepang daerah pertambangan tersebut secara paksa dibawah pemerintahan Jepang dan menanam tanaman jarak dengan tujuan industri sehingga pertambangan minyak Minas tetap dilanjutkan dan minyak tersebut diteliti oleh pemerintahan Jepang tapi hal ini tidak berlangsung lama sebab Jepang sudah mengaku kalah dalam Perang Dunai II tapi hal ini dilanjutkan kembali oleh pihak swasta yang melihat perkembangan minyak yang ada di Riau Khususnya Minas.

      2.      Fase Kemerdekaan dan Orde Lama
Memasuki masa kemerdekaan pemerintah Jepang tidak lama menguasai daerah Asia Tenggara dan pertambangan minyak beralih ke pemerintah Indonesia tapi belum banyak ahli pertambangan pada masa itu sehingga digunakanlah ahli dari pihak swasta dan melalui Permina seluruh pertambangan dibawah pemerintah Indonesia dan memulai reformasi didalam birokrasinya secara berkesinambungan sejak tahun 1946 sehingga proses pertambangan memiliki birokrasi tersendiri dengan tujuan melindungi pertambangan strategis guna kepentingan umum.
Selama fase kemerdekaan 1945-1960-an di Indonesia sering terjadi permasalahan politik hingga sampai terjadinya pemberontakan, tapi di Minas tidak terpengaruh terhadap permasalahan politik yang terjadi sehingga kegiatan dalam pengeboran minyak tetap dilakukan tapi untuk permasalahan ekspor agak sedikit terganggu akibat adanya beberapa permasalahan tersebut, daerah Minas tentu saja pernah masuk dalam wilayah Agresi Militer dan kemudian berhasil lepas dengan adanya perjanjian terutama Roem-Royen lalu kemudian adanya pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
Produksi minyak mentah dalam suasana begini beranjak sangat lambat dari 302.000 metric ton ditahun 1946 ke 1.113.000 ditahun 1947, 4.326.000 ton dita­hun 1948 dan 5.930.000 ton ditahun 1949, Sesudah pemerintah Indonesia memegang kekuasaan ditahun 1949 ketiga perusahaan minyak asing semuanya sangat menonjol aktif diwilayah Indone­sia yang ekonominya kacau dan tenaga asingnya yang menurut ukuran setempat sangat mewah harus menerima kritik-kritik keras, walaupun peranan industri ini sangat berharga untuk negara, baik diukur dengan jumlah penerimaan ekspor maupun dalam pengembangan daerah-daerah terpencil di Sumatera dan Kaliman­tan. Perjanjian-perjanjian yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan pertambangan minyak hanya mencakup penggunaan penerimaan valuta asing dari ekspor hasil-hasil kilang dan kemudian dari minyak mentah yang mula-mula dirundingkan oleh perusahaan-perusahaan ini dengan pemerintah kolonial Belan­da ditahun 1948, mengundang serentetan gugatan-gugatan nasionalis di Badan Legislatif. Dengan demikian pemerintah baru Indonesia yang memilih untuk mendukung perjanjian-perjanjian tersebut terutama karena janji mereka untuk rekonstruksi industri minyak dengan cepat, menghadapi kesukaran dalam melunakkan suara-suara ekstrim didalam Badan Legislatif, dan kemudian dalam menghadapi permintaan-permintaan serikat-serikat buruh militan untuk mengacau perusahaan-perusahaan minyak.

       3.      Fase Sekarang
Masa sekarang pertambangan di Minas sudah mulai berkembang dengan adanya pemekaran wilayah terutama di Kecamatan Minas dengan mudahnya akses transportasi yang terlihat sekarang dibandingkan dengan dulu, sarana dan prasarana yang mulai terbangun dan perekonomian yang kini mulai tumbuh tapi mengingat sumber daya alam terutama minyak yang merupakan bahan tambang yang tidak dapat diperbarui kini hasilnya mulai menurun dan juga akan berdampak pada masalah sosial.
Minas yang merupakan salah satu daerah yang pertumbuhannya cukup pesat dibandingkan dengan daerah lainnya di Riau. Ini disebabkan Minas mempunyai ladang minyak yang kaya, bersama Duri dan Dumai, Prestasi ladang minyak Minas memberi sumbangan besar dari tahun 1970-1980, rata-rata dengan produksi di kisaran 200.000 - 400.000 bopd (barrel oil per day) bagi produksi minyak mentah Indonesia pada masa itu kini hasil rata-rata produksi minyak mentah dibawah kisaran tersebut sehingga inilah yang harus diantisipasi oleh perusahaan maupun pemerintah yang menggunakan daerah Minas sebagai daerah pertambangan. Seyogiyanya pemerintah lebih memperhatikan terutama dalam hal kesejahteraan sosial terutama di daerah Minas yang memiliki sumbangan yang sangat berharga bagi kehidupan bangsa, dari awal eksplorasi, penelitian yang mendalam, inovasi dan kegiatan lainnya seharusnya daerah yang memiliki tambang disekitar harus memberi kesejahteraan bagi masyarakat tempatan karena seluruh pusat pertambangan minyak yang berada di Sumatera ada di Riau termasuk Minas. Upaya menasionalisasikan perusahaan asing di Indonesia diatur dalam undang-undang No. 44 tahun 1960. Supaya tidak menguntungkan salah satu pihak dengan tujuan memberikan dampak sosial yaitu kesejahteraan bersama.

     D.    Kebijakan Pemerintah Indonesia Teradap Minyak Minas, Riau
Pada 30 Oktober 1957, seiring nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Jenderal Abdul Harris Nasution, selaku penguasa perang pusat (Pepera) menugaskan Kolonel dr. Ibnu Sutowo untuk membentuk perusahaan minyak negara. Pada tanggal 10 Desember 1957 terbentuklah Perusahaan Tambang Minyak Negara (PERMINA) berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI no. JA.5/32/11 tertanggal 3 April 1958  sehingga di bidang pertambangan umum, dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan pertambangan milik Belanda merupakan peristiwa penting bagi pembangunan pertambangan selanjutnya. Ibnu Sutowo ditunjuk sebagai Direktur Utamanya. Pada 30 Juni 1958, Permina mulai mengekspor minyak mentah untuk pertama kalinya, dan pada bulan Agustus melakukan pengiriman ekspor keduanya, tapi hal ini agak berbeda pada tahun 1952 CALTEX mulai mengekspor minyak dari lapangan MINAS sedangkan permina 6 tahun setelah itu PERMINA baru mengekspor minyaknya. Sehingga dapat dilihat bahwa pemerintah pada saat itu terlambat mengambil langkah mengingat tahun 1950-an memiliki situasi politik yang sangat panas terutama pemerintah harus meredam pemberontakan yang berada didaerah-daerah Indonesia dan juga harus menghadapi serangkaian perjanjian Internasional dan hal ini baru terwujud pemerintah menjalani pertambangan minyak secara intensif pada taun 1960-an.
Selama tahun 1945-1960-an di Indonesia sering terjadi permasalahan politik hingga sampai terjadinya pemberontakan, tapi di Minas tidak terpengaruh apa yang terjadi sehingga kegiatan dalam pengeboran minyak tetap dilakukan tapi untuk permasalahan ekspor agak sedikit terganggu akibat adanya beberapa permasalahan tersebut daerah Minas tentu saja pernah masuk dalam wilayah Agresi Militer dan kemudian berhasil lepas dengan adanya perjanjian terutama Roem-Royen lalu kemudian adanya pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 tidaklah membuat kegiatan pertambangan yang ada di Minas terganggu dan tetaplah berjalan seperti biasa pada masa orde lama setiap izin usaha memang dipersulit oleh pemerintah karena kebijakan presiden Soekarno terhadap blok barat terutama dengan Amerika, perusahaan swasta tetaplah dipekerjakan dengan diawasi oleh pemerintah tapi ujungnya dikelola oleh pihak swasta itu sendiri.
Permina menjalin kerja sama dengan perusahaan minyak Jepang North Sumatera Oil Development Co-operation Company (NOSODECO), dimana Permina mendapat pinjaman modal yang dibayarkan dengan minyak mentah. Permina membuka kantor perwakilannya di Tokyo. Tahun 1960, PT Permina berubah status menjadi Perusahaan Negara atau (Badan Usaha Milik Negara, sekarang disingkat BUMN) dengan nama PN Permina semenjak masa orde lama hubungan dengan blok barat terasa memanas karena setiap izin dari pihak asing terutama barat dipersulit dengan tujuan belum siapnya masyarakat Indonesia dalam hal pengolahan bahan tambang pada saat itu ditambah ahli pertambangan belum memadai dengan tujuan eksplorasi bahan tambang dan juga penemuan sumur-sumur baru terutama ladang minyak.
Tahun 1959 NIAM (Nederlandsche Indische Aardoil Maatschappij) resmi diambilalih pemerintah RI dan diubah namanya menjadi PN Permindo (Perusahaan Minyak Nasional Indonesia). BPM/Shell memulai proyek di Tanjung, Kalimantan Selatan pada tahun yang sama. Tahun 1960 BPM di Indonesia dilikuidasi dan dibentuklah PT Shell Indonesia. Berdasarkan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) No. 44 tahun 1960, tertanggal 26 Oktober 1960, seluruh konsesi minyak di Indonesia harus dikelola oleh kepada negara. Permindo memulai kegiatan komersialnya dalam bentuk perusahaan milik negara, meskipun sebenarnya yang mengelola tetaplah Shell. Pada tahun tersebut mengingat bahwa negara mengembalikan kembali kepada pihak swasta dalam mengelola mengingat pada masa itu Indonesia belum memiliki ahli dalam pertambangan dan tidak cukupnya tenaga ahli dibidangnnya sehingga membuat keputusan walau dikelola kepada negara tapi yang mengerjakannya tetaplah pihak swasta.
Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing dihapuskan diganti dengan sistem kontrak karya. Pemerintah mengambil alih saham di Permindo-Shell, kemudian Permindo dilikuidasi dan dibentuklah PN PERTAMIN (Perusahaan Tambang Minyak Negara). Melalui Peraturan Pemerintah No. 198/1961, perusahaan tersebut resmi menjadi Perusahaan Negara (BUMN). Tahun 1962 Indonesia resmi bergabung dengan OPEC (Organisation of Petroleum Exporting Countries, organisasi negara-negara pengekspor minyak). Sebagai tindak lanjut pengambilalihan Irian Barat melalui perjanjian New York 1963, pemerintah melalui PN Permina membeli seluruh saham Nederlands Niew Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) pada tahun 1964. Pada tahun yang sama, Service Pollution Control Office (SPCO) Kantor Pengendalian Polusi diserahkan kepada PN Permina.
Perjanjian-perjanjian perminyakan tahun 1963 menandakan fase baru dalam perkembangan industri minyak Indonesia. Shell dan Stanvac sepanjang tahun-tahun 1950-an telah merundingkan daerah-daerah eksplorasi dan pengembangan yang berbatasan dengan daerah-daerah eksploitasi mereka untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi minyak mentah dengan catatan seluruh wilayah konsensi CPPM/CPOC dikembalikan oleh Caltex kepada Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang No 44/1960, tetapi pelaksanaannya diserahkan kembali ke Pemerintah Republik Indonesia kepada Caltex.
            Mereka tidak mendapat hasil yang memuaskan dalam upaya ini. Sebaliknya mulai tahun 1959, pemerintah Indonesia menandatangani beberapa kontrak ad hoc dan perjanjian-perjanjian jangka panjang dengan perusahaan-perusahaan minyak asing selain Shell, Stanvac dan Caltex. Pada tahun 1959 pemerintah Indonesia mengambil kebijakan bahwa semua perusahaan Belanda antara lain perusahaan tambang batubara, timah, emas, dan bauksit ditetapkan pengelolaannya oleh Biro Urusan Perusahaan¬perusahaan Tambang Negara (BUPTAN). Konsesi-konsesi pertambangan sejak perang kemerdekaan yang tidak diusahakan lagi atau baru diusahakan dalam tahap permulaan dikenakan pembatalan hak-hak pertambangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1959. Daerah-daerah bekas konsesi yang dibatalkan hanya dapat diusahakan oleh perusahaan negara atau perusahaan milik daerah Swatantra. Perjanjian-perjanjian ini umumnya dianggap diciptakan untuk menunjukkan kebebasan pemerintah Indonesia dalam urusan minyak dan bersamaan dengan itu untuk membiasakan "ketiga Perusahaan Besar" dengan suatu dasar pemikiran yang mau mengalah terhadap permintaan-permintaan Indonesia. Termasuk di¬dalamnya suatu kontrak bantuan teknis dan keuangan antara Permina dan suatu kelompok Jepang  North Sumatera Oil Development Co-operation Company (NOSODECO), untuk merehabilitasi lapangan-lapangan yang dulunya milik Shell di Sumatera Utara, dengan imbalan penyerahan minyak mentah (salah satu "kontrak bagi hasil" yang pertama antara Indonesia dengan perusahaan-perusahaan asing), pada bulan September 1963 Perjanjian Karya ditandatangani antara perusahaan-perusahaan asing dengan perusahaan-perusahaan Negara, termasuk antara PT. Caltex Pacifix Indonesia dengan PN Pertamina atas wilayah-wilayahnya.
a)      CPI wilaya kangguru seluas 9.030 km2.
b)      C&T wilayah A, B & C seluas 12.328 km2, yang pelaksanaan operasinya diserahkan kepada PT. Caltex Pacific Indonesia.
Tahun 1964, lebih dari 600.000 ton per tahun diekspor untuk kelompok Jepang ini. Permina juga mempunyai kontrak pengeboran di Sumatera Utara dengan perusahaan-perusahaan Kanada dan Amerika, di Sumatera Selatan Pertamin menerima advis teknis atas pengeboran eksplorasi dari Shell selama 1959-1962 dan kemudian memakai sebuah kontraktor Perancis; dan Permigan dalam tahun 1962 mengontrak suatu kelompok Jepang lainnya untuk merehabilitasi lapangan-lapangan tua Shell di Kawengan, Jawa dan cadangan-cadangan lainnya dibeberapa pulau di Indonesia Timur[9].
Mengingat bahwa sekarang lapangan sumur minyak tua sudah mulai ditinggalkan pasca Perang Dunia II mengingat melalui eksplorasi yang diperhitungkan terutama biaya eksploitasi tidak ekonomis maka ladang minyak tadi otomatis dikategorikan sebagai ladang minyak tidak produktif karena tidak layak dan perusahaan minyak banyak mencari daerah baru yang memungkinkan adanya bahan tambang minyak baru, kini ladang minyak tua mulai dioperasikan kembali dengan tujuan guna memenuhi kebutuhan industri, Saat ini, ladang minyak terkaya yang pernah ditemukan di Indonesia terpusat di provinsi Riau, terutama di daerah Dumai, Duri dan Minas. Ladang minyak ini telah dieksploitasi sejak lama dan saat ini menyumbang kurang lebih 60% dari seluruh jumlah produksi minyak mentah Indonesia..
Latar belakang kontrak bagi hasil ad hoc ini, ketiga perusahaan internasional berangkat ke Tokyo dibulan Mei 1963 untuk fase terakhir dari usaha-usaha mereka selama dua setengah tahun untuk mencapai suatu pengertian dengan pemerintah Indonesia atas dasar Undang Undang Perminyakan tahun 1960. (pada waktu itu Presiden Sukarno sedang mengadakan kunjungan resmi ke jepang). Perusahaan-perusahaan ini memasuki perundingan tahap terakhir dengan menerima kenaikan pajak, tetapi bertekad untuk memperoleh suatu pengertian yang pasti mengenai masa depan mereka di Indonesia, terutama dalam bidang eksplorasi dan pengembangan. Dikabarkan perusahaan-perusahaan ini mengejutkan utusan-utusan Indonesia dengan pernyataan mereka akan berhenti beroperasi di Indonesia kalau suatu pengertian tidak diperoleh.
Utusan Indonesia juga mempergunakan siasat memojokkan (Brinkmanship) dengan rnenyatakan bahwa perusahaan-perusahaan itu harus keluar apabila sampai Juni 1963 tidak tercapai suatu persetujuan. Suatu utusan khusus yang dikirim oleh Presiden Kennedy dari Amerika yang disertai oleh suatu tim konsultan minyak masuk kedalam perundingan untuk mencari suatu kompromi yang dapat mempertahankan kedua pihak untuk terus berunding. Pandangan/pendapat Amerika ialah suatu industri minyak yang tidak terurus baik, dengan memperhebat kesukaran¬kesukaran ekonomi, akan mendorong Indonesia lebih jauh kedalam pengaruh komunis[10]. Mengingat pada masa itu Indonesia sedang menghadapi perang dingin dengan blok barat maupun timur ditambah hubungan Indonesia memburuk dengan pihak Barat karena tidak menganggap Indonesia sebagai suatu negara merdeka walau sudah diakui kedaulatannya makanya membuat Indonesia terpaksa masuk lebih dalam ke blok timur dan mulai terpengaruh oleh Komunis, hal ini memang membuat Amerika terus melakukan lobi untuk berunding dan mendapatkan tempat produksi di Indonesia karena Amerika tertarik dengan sumber daya alam terutama minyak. Hal ini sedikit berbeda pada masa orde baru dimana pada masa orde lama setiap izin pertambangan atau hubungan dengan blok barat dipersulit akan izin-izin usaha dan pada masa orde baru semua izin dengan blok barat terutama Amerika semua izin usaha semakin mudah dan dipelancar karena presiden Soekarno dan Soeharto berbeda sikap dan pandangan dalam mengambil pandangan terhadap izin usaha tersebut.
Bidang pengertian kedua belah pihak dituangkan dalam Pokok-pokok Per-setujuan yang dicapai di Tokyo. Ini menjadi undang-undang Indonesia dalam bulan Juni 1963, dan dimasukkan kedalam kontrak-kontrak karya, yang detailnya, sesudah dirundingkan panjang lebar dengan masing-masing perusahaan, ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 September 1963 antara Pertamin dengan Calrex, Permina dengan Stanvac, dan Permigan dengan Shell dalam perjanjian tersebut BUMN yang ada menjadi mitra kerjasama dalam hal pertambangan.
Ada lima elemen pokok didalam perjanjian-perjanjian ini:
1.      Masing-masing perusahaan melepaskan hak konsesi yang diberikan dibawah pemerintahan kolonial dan sebagai gantinva setuju untuk bertindak sebagai kontraktor salah satu dari tiga perusahaan Negara. bertindak sebagai kontraktor untuk salah satu dari tiga perusahaan Negara.
2.      Sebagai gantinya mereka diberikan kontrak jangka duapuluh tahun untuk meneruskan eksploitasi daerah-daerah konsesi lama. Lebih penting lagi, mereka diizinkan membuat aplikasi untuk kontrak-kontrak jangka tiga puluh tahun untuk menyelidiki dan mengembangkan daerah-daerah baru yang berdampingan dengan konsesi-konsesi yang ada. Kontrak-kontrak daerah baru memerlukan pembayaran bonus sebesar US$ 5 juta pada waktu itu juga, dan kelangsungan kontrak tergantung kepada pengeluaran sebesar US$ 15 juta selama delapan tahun untuk tiap-tiap daerah, pengembalian daerah-daerah yang tidak terpakai dalam wakru tertentu, pembayaran US$ 5 juta lagi jika produksi komersiil terlaksana, lndonesianisasi pegawai perusahaan yang beroperasi dst.
3.      Fasilitas-fasilitas pemasaran dan distribusi akan diserahkan kepada perusahaan-perusahaan negara yang mengontrak dalam waktu lima tahun dengan harga yang didasarkan pada rumus yang disetujui dimana biaya-biaya perolehan (acquisition costs) aktiva semula akan disusutkan. Perusahaan setuju menyediakan hasil-hasil minyak kepada organisasi distribusi negara dengan harga pokok ditambah dengan 10 sen Amerika per barrel selama masih diperlukan. Sambil menunggu pengoperan, distribusi akan dilakukan oleh perusahaan asing dengan biaya tambahan sebesar 10 sen Amerika untuk setiap barrel.
4.      Aktiva-aktiva kilang akan diserahkan kepada pihak Indonesia dalam waktu sepuluh sampai lima belas tahun, juga tergantung kepada suatu rumus yang disetujui bersama untuk penentuan nilainya. Sesudah itu pihak perusahaan asing akan bersedia membekali minyak mentah untuk kilang-kilang perusahaan negara Indonesia atas dasar harga pokok ditambah 20 sen Amerika per barrel untuk jangka yang diperlu¬kan dan dalam jumlah sampai dengan 25% dari hasil minyak mentah dari lapangan-lapangan Indonesia.
5.      Keuntungan operasi dari perusahaan-perusahaan internasional ini mulai Juni 1963 akan dibagi dengan perbandingan 60:40 antara pemerintah dan perusahaan. Tetapi walau bagaimanapun pemerintah akan menerima paling kurang 20% dari nilai kotor minyak mentah yang dihasilkan dalam tiap tahun oleh perusahaan asing[11].

Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seharusnya pemerintah lebih menguasai pertambangan yang merupakan aset negara yang dikelola oleh negara, bukan diserahkan secara swasta terutama pihak asing. Hal ini jelas sumber daya alam akan menipis dan akan menjadi bahan yang vital sekaligus strategis dijual di pasaran internasional. Pasal 33 UUD Tahun 1945 merupakan landasan filosofi bagi negara/pemerintah dalam pengelolaan Migas. Pasal 33 ayat (2) menyebutkan: ’Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara’. Kemudian Pasal 33 ayat (3) menyebutkan: ’Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. dari bunyi Pasal 33 tersebut di atas, terdapat hak negara untuk menguasai sumber daya alam, termasuk sumber alam Migas. Karena Migas merupakan salah satu cabang produksi yang penting bagi negara.
Pertamina sudah memulai reformasi didalam birokrasinya secara berkeinambungan sejak tahun 1946, mulai terbentuknya PT. MNRI di tahun 1945 sampai ke PERTAMINA di tahun 1971. Kemudian disusul dengan SK Direksi No. KPTS-070/00000194 – SO tentang restrukturisasi. Setelah diberlakukannya paket restrukturisasi pada tahun 1994, maka secara otomatis struktur organisasi Pertamina Daerah Sumbagut dibubarkan demi tercapainya efisiensi yang lebih mantap dan lebih berdayaguna serta mempersingkat alur birokrasi. Sejak itu Pertamina Unit EP I berobah struktur organisasinya menjadi Pertamina Operasi Eksplorasi dan Produksi Rantau atau disingkat menjadi Pertamina OP. EP. Rantau. Sebagai salah satu wilayah kerja Direktorat EP, Pertamina OP. EP. Rantau semasa UEP-I yang memiliki daerah operasi seluas 18.369 Km2 di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh telah melebar sampai ke Sumatera Barat dan Riau termasuk Kepulauan Natuna kecuali Lapangan Lirik.
Penulis lihat bahwa daerah Minas memiliki sumbangan yang sangat berharga bagi kehidupan bangsa, dari awal eksplorasi, penelitian yang mendalam, inovasi dan kegiatan lainnya seharusnya daerah yang memiliki tambang disekitar harus memberi kesejahteraan bagi masyarakat tempatan karena seluruh pusat pertambangan minyak yang berada di Sumatera ada di Riau termasuk Minas. Upaya menasionalisasikan perusahaan asing di Indonesia diatur dalam undang-undang No. 44 tahun 1960. Supaya tidak menguntungkan salah satu pihak dengan tujuan memberikan dampak sosial yaitu kesejahteraan bersama. Berdasarkan UU tersebut ditetapkan bahwa semua kegiatan penambangan minyak dan gas bumi di Indonesia hanya dilakukan oleh perusahaan minyak negara (Pertamina). Pada tahun 1963, Caltex menjadi badan hukum di Indonesia dengan pemilikan saham masing-masing 50%  SOCAL dan 50% TEXACO dilihat dari kepemilikan saham seluruhnya sudah dimiliki asing.
Sistem kontrak bagi hasil ini kemudian diperkuat dengan lahirnya UU Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina).Sistem pengelolaan Migas yang pernah diberlakukan di Indonesia adalah:
1.      Sistem Konsesi: kontraktor memiliki kekuasaan penuh atas minyak • yang ditambang dan wajib membayar royalti kepada negara sistem ini merupakan sistem tertua dalam kontrak pertambangan. Kontrak ini tidak ada lagi sejak 1961 atau berakhir sampai tahun 1960;
2.      Sistem Kontrak Karya: merupakan kontrak (profit sharing) dimana manajemen ada di kontraktor. Kontrak ini tidak ada lagi sejak tahun 1983 atau berakhir sampai tahun 1982.
3.      Sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract).Technical Assistance Contract (produksi yang dibagi hanya diperoleh dari pertambahan produksi setelah secondary recovery. Pembagian Migas dari total produksi.
4.      Sistem Joint Operating Body. Kontrak ini sama persisi seperti sistem kontrak bagi hasil namun pemerintah/pertamina ikut serta dalam permodalan sehingga komposisi menjadi (50 : 50)[12].
Namun sepanjang sejarah pengusahaan minyak di Indonesia, terdapat tiga model kontrak kerjasama antara Pemerintah dan kontraktor, yaitu: (a) sistem konsesi, (b) sistem kontrak karya, dan (c) sistem production sharing contract yang kita kenal sekarang ini sebagai PSC. Sistem pengelolaan Migas yang diterapkan dalam industri Migas akan berpengaruh terhadap besar-kecil jumlah pendapatan negara dari hasil Migas dalam anggaran negara (APBN). Sistem kontrak bagi hasil merupakan sistem pengelolaan Migas yang paling lama diterapkan dalam industri Migas di Indonesia.
Distrik Minas, merupakan daerah operasi produksi minyak jenis Sumatera Light Crude (SLC), Pada bulan September 1963, ditandatangani perjanjian Calastiatic/Chevron dan Topco/Texaco (C&T) yang pertama (berdasarkan Perjanjian Karya) untuk jangka waktu 30 tahun, sehingga Perusahaan minyak asing hanya bisa beroperasi sebagai kontraktor dengan sistem bagi hasil produksi minyak, bukan lagi dengan membayar royalty tapi hal ini tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan. Sejak saat itulah, eksplorasi besar-besaran dilakukan baik di darat maupun di laut oleh PN Pertamin dan PN Permina bersama dengan kontraktor asing sebagai mitra kerjasama internasional.
Prinsip-prinsip kerjasama di dalam sistem konsesi secara umum adalah sebagai berikut: Pertama, kepemilikan sumber daya minyak dan gas bumi yang dihasilkan berada di tangan kontraktor (mineral right). Kedua, kontraktor diberi wewenang penuh dalam mengelola operasi pertambangan (mining right). Ketiga, dalam batas-batas tertentu, kepemilikan aset berada di tangan kontraktor. Keempat, negara mendapatkan sejumlah royalti yang dihitung dari pendapatan kotor. Kelima, kontraktor diwajibkan membayar pajak tanah dan pajak penghasilan dari penghasilan bersih.
Sejak diterapkan pertama kali pada tahun 1967, sistem kontrak bagi hasil terus diperbaiki atau direvisi sampai pada kontrak bagi hasil Generasi III. Diakui bahwa sistem kontrak bagi hasil masih memberikan keuntungan relatif besar bagi negara dibanding dengan sistem-sistem lain dalam pengelolaan Migas selama ini. Sebagai gambaran, generasi pertama (I) (1965 - 1978) dimana cost recovery dibatasi sebesar 40%, bagian kontraktor adalah 35% bersih dan Domestic Market Obligation tanpa grace period. Generasi kedua (II) (1978 - 1988) dimana cost recovery tidak ada pembatasan, bagian kontraktor 15% bersih, investment credit sebesar 20% dan DMO dengan harga pasar untuk 5 tahun. Generasi ketiga (III) (1988 - sekarang) dimana mulai dikenalkan adanya FTP (First Tranche Petroleum) yang besarnya 20% dari produksi kotor serta DMO yang bervariasi antara harga ekspor dengan harga domestik.
Selama itu perjanjian tersebut diperpanjang tapi dilihat perusahaan yang mengelola sama dan tidak berubah, perjanjian selama 30 tahun selesai seharusnya memberikan perusahaan asing lain untuk mengelola atau perusahaan tambang minyak lokal yang mengelola sendiri di negeri sendiri sesuai perjanjian antara perusahaan asing seharusnya menjadi mitra kerjasama usaha dengan tujuan tidak menguntungkan satu pihak atau memonopoli hasil produksi mengiat bahwa sumber energi fosil yang semakin berkurang. Persoalan pengelolaan Migas saat ini tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi, tetapi juga pada aspek politik kebijakan pengelolaan Migas. Pertama, persoalan ekonomi-minyak dan gas bumi merupakan salah satu issu sentral yang masih terus menjadi bahan diskusi oleh berbagai lapisan dalam masyarakat.
Hal ini menyangkut sejauhmana peran Migas dalam perekonomian nasional sampai saat ini, termasuk peran Migas dalam meningkatkan pendapatan negara dalam APBN. Kedua, ekonomi-Migas berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Karena masih sangat banyak orang yang bergantung kepada Migas termasuk sektor industri, sektor transportasi dan sektor energi-listrik, dan sektor lain.
Perkembangan dan kemajuan industri Migas di Indonesia seyogiyanya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat-banyak sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945. Harga bahan bakar minyak (BBM) dan harga gas (LPG) yang relatif murah merupakan salah satu bentuk nyata dari upaya Negara (pemerintah) untuk mensejahterakan rakyat. Disamping itu, jaminan ketersediaan (supply) Migas juga menjadi kriteria peningkatan kemakmuran rakyat-banyak dari hasil pengelolaan Migas. Apabila pemerintah belum mampu menjamin ketersediaan atau pasokan minyak dan gas bagi seluruh masyarakat, maka pemerintah belum mampu menciptakan ketahanan energi, khususnya energi bahan bakar.
Ketiga, persoalan dalam pengelolalaan Migas berkaitan dengan politik kepentingan negara atas sumber alam Migas. Politik kepentingan negara atas sumber alam Migas tercermin dari sejauhmana keberpihakan dari berbagai regulasi di sektor Migas yang dibuat pemerintah. Apakah regulasi di sektor Migas yang ada saat ini sudah berpihak kepada kepentingan negara atau rakyat banyak atau sebaliknya berpihak kepada kepentingan investor (perusahaan Migas).
Hampir seluruh Negara mengakui bahwa sumber alam merupakan milik negara. Baik individu, sekelompok masyarakat maupun suatu organisasi tidak diijinkan secara legal melakukan ekstraksi atau eksploitasi serta menjual sumber alam mineral tanpa mendapatkan ijin atau otorisasi terleih dahulu dari Negara atau pemerintah. apabila jumlah produksi minyak bumi yang cukup besar tersebut sebagian besar diekspor ke pasar dunia, maka dapat diketahui berapa jumlah uang yang masuk ke dalam anggaran negara (APBN). Produksi Migas yang “berlimpah” tersebut seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat banyak pada saat itu dan saat ini. Realisasi pendapatan negara dari minyak bumi dalam APBN tahun 2008 misalnya, tercatat berjumlah Rp 169,022 triliun (setara dengan US$18,777 milyar) dengan harga minyak bumi Indonesia di pasar internasional rata-rata pada tahun 2008 sebesar US$ 101,31 per barel. Apabila dikalikan dengan kurs rupiah sebesar Rp 9.000 per dolar AS, maka harga rata-rata minyak bumi Indonesia di pasar internasional sebesar Rp 911.700 per barel (2008). Sehingga dapat dilihat berapa banyak keuntungan yang didapat terutama dalam pengeboran minyak di Minas setidaknya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar maupun daerah yang memiliki sumber daya alam tersebut.
Lahirnya UU Migas di atas memunculkan adanya ketidakpuasan dari berbagai lapisan masyarakat didahului dengan terjadinya kenaikan harga BBM. Alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM yakni karena sudah ditegaskan dalam UU Migas Pasal 28 ayat (2) yang menyebutkan, Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Ketentuan ini merupakan salah satu indikasi semakin kuatnya sistem pasar bebas dalam pengelolaan Migas, tapi hal ini membuat benturan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal inilah membuat keraguan pemerintah mengambil keputusan.
          Adanya pertambangan minyak di Minas seperti “gula” yang menarik masyarakat luas untuk berkerja didaerah tersebut, Indonesia mempunyai sumber alam Migas yang relatif berlimpah selain itu adanyan jaminan standar dan mutu yang berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku serta menerapkan kaidah keteknikan yang baik dan menjamin keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan lingkungan hidup dan menaati ketentuan peraturan perundanganundangan yang berlaku dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Pengelolaan lingkungan hidup berupa kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan atas terjadinya kerusakan lingkungan hidup, termasuk kewajiban pascaoperasi pertamb









[1] Untuk gambaran historis singkat dan struktur umum dari industri ini sebelum tahun 1940, lihat I, swemle dalam bab 12 dari W.E. pratt dan D.GOO(eds world geography of petroleum (princeton university press, 1950). Untuk analisa yang sangat ekstensif dari tahun-tahun permulaan di hindia Belanda lihat F.C. gerretson, history of the royal duch (leiden :E.J.brill 1957). Diterjemahkan dengan izin dari AUSTRALIAN ECONOMIC PAPERS. Juni 1966. Beberapa alinea pembukaan dan penutup telah dihilangkan.
[2] Pipeline to Progress,”The story of PT Caltex Pacific Indonesia”.hal.11
[3] Setanggi,edisi II/2012.hal 45
[4] )  Lihat Oil and Gas Journal, 28 Desember 1964 (Tambahan mengenai statistik perminyakan dunia) untuk perbandingan dengan produksi berbagai Negara.
[5]  One day in September 1944, at a remote camp in central Sumatra; Toru Oki was comparing the logs of two wells. One was a successful well that had been drilled by an American company at a place called Sebanga in 1939. The other was a wildcat well being drilled with the American company's abandoned equipment at a place known as Minas. As he studied the data, Oki was struck by an inspiration. The wildcat, he informed the drilling crew, was about to penetrate oil sands  probably around midnight that night or early the next morning.
Tow Oki was a Japanese geologist. He had taken his degree at Kyushu University only a year before, at the age of 25. Drafted immediately into one of the Japanese Army's oil battalions, he had been sent to Sumatra, where in August 1944 he was assigned as wellsite geologist on a most unusual operation. It was unusual because the Japanese Army had not come to the Netherlands East Indies to drill exploratory oil wells; there was plenty of oil being produced in the islands before the war, and, except in cases where installations had been deliberately destroyed, it was a simple matter to maintain output and to see that the product was refined into the various fuels needed. (Pipline to Progress PT. Caltex)
[6] Ricinus communis merupakan tumbuhan liar setahun (annual) dan biasa terdapat di hutan, tanah kosong, di daerah pantai, namun sering juga dikembangbiakkan dalam perkebunan, Tanaman ini merupakan sumber minyak jarak, dan mengandung zat ricin, sejenis racun.
[7] Operatie Produkt (Bahasa Belanda) Produk Operasi merupakan tujuan mengamankan produksi pengolahan sumber daya alam.
[8] Andil produksi minyak mentah yang bergeser dari tahun ketahun dapat dilihat dari angka-angka berikut: (pada tahun 1963 PERMINA hanya mempunyai 5% dari produksi total). Sumber: swemle, op, cit, dan laporan tahunan bank Indonesia.
[9] Lihat alex hunter, “the 1963 oil agreements and after”, bulletin of Indonesian economic studies (Australian national university) no.2 (September 1965) untuk detail-detail lebih lanjut dan kontrak-kontrak ini
[10] Lihat petroleum press service (London), terbitan juni-desember untuk bermacam-macam komentar mengenai perundingan-perundingan ini, dan economic intelligence unit-three monthly economic review (Indonesia) no. 45-1963.

[11] Lihat Alex Hunter, “The 1963 Oil Agreements and After”, op.cit. untuk analisa mendetail dari syarat-syarat keuangan dan teknis dari perjanjian Tokyo, dan untuk satu versi dari perjanjian karya, commercial advisory foundation in Indonesia (C.A.F.I.), legal section circular no H466 (10 desember 1963)

[12] Lihat ‘Memahami Kontrak Pengelolaan Migas di Indonesia’, dalam http://ekonomi.kompasiana.com/group/bisnis/2010/04/26/memahami-kontrak-pengelolaan-migas-di-indonesia/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

intel vs amd dan arm

Standar profesi ACM dan IEEE Standar Profesi di Indonesia dan Regional

Arah demokrasi Indonesia