Perang Karimun Tahun 1827
PERANG KARIMUN 1827
Karimun merupakan sebuah pulau yang berada di Propinsi
Kepulauan Riau, bukan Karimun Jawa yang berada di Propinsi Jawa Tengah, Chi ke Wan atau yang lebih di kenal dengan Karimun
sudah sejak lama disebut dalam catatan sejarah,bahkan catatan sejarah yang
paling kuno ditemukan di Karimun adalah berupa batu bersurat (prasasti) yang
ditemukan di Desa Pasir Panjang, untuk kemudian batu bersurat tersebut terkenal
dengan sebutan Prasasti Pasir Panjang. Dalam Prasasti Pasir Panjang yang
ditemukan di Desa Pasir Panjang Kecamatan Meral Kabupaten Karimun, terungkap
beberapa catatan penting yang cukup kuat untuk menjadi rujukan, yaitu tentang masuknya
agama Budha di Karimun, yang berarti menunjukkan telah terjadinya interaksi
yang sangat intens antara penduduk Karimun beserta pulau-pulau disekitarnya
dengan Cina yang terjadi sekitar abad 9 – 10 M (Tahun 800 – 900 Masehi) hal ini
sebagai mana diungkapkan oleh DR. J. Brandes yang berhasil mentranskripsi dan
menterjemahkan Prasasti Pasir Panjang sebagai prasasti yang dipahat menggunakan
aksara nagari yang berasal dari abad 9 – 10 M (Brandes 193:21).
Peristiwa yang sangat penting ketika
itu yang melatar belakangi terjalinnya hubungan masyarakat di Karimun dengan
Cina berabad tahun yang silam. Bahwa ketika itu Pulau Karimun berada
dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya dan bahkan Sriwijaya mendirikan pos
penjagaan di Pulau Karimun tepatnya di Pasir Panjang guna mengamankan jalur
pelayaran dan perdagangan selat malaka yang akan menuju Sriwijaya. Sriwijaya
menurut catatan Jt-Tsing (pengelana Cina) memeluk agama Budha, bahkan di pusat
kota tidak kurang 1000 orang pendeta Budha bermukim disana, hal ini sudah
barang tentu berpengaruh kepada agama yang dipeluk penduduk Karimun, yang
letaknya memang sangat strategis yaitu berada di ujung selatan Selat Malaka.
Sehingga para musafir dan pelaut yang melintasi Selat Malaka kearah selatan
akan dengan mudah menyinggahi Pulau Karimun. Karimun dipandang sebagai
daerah yang sangat berbahaya dan di takuti oleh setiap pelayar dan pedagang
yang akan melintasi ujung selatan Selat Malaka. Hal ini dikarenakan hampir
disepanjang Pulau Karimun dan jajaran pulau-pulau disekitarnya dijadikan basis
operasional bajak laut. Dan bahkan menurut catatan Fa-Hsieu (seorang pengelana
Cina), aktifitas bajak laut ini telah berlangsung sejak abad ke – 4 M.
Tao-I Chih (juga seorang pengelana China) yang pernah mengunjungi daerah
Kepulauan Riau pada tahun 1330 – 1340 kembali memperkuat hal ini yang
menyatakan daerah Chi ke Wan (Karimun) menjadi daerah basis bajak laut yang
memiliki pasukan berjumlah cukup besar yaitu terdiri dari 200 – 300 pasukan.
Dan dalam perkembangan selanjutnya para bajak laut ini yang sebagian besar
merupakan penduduk asli Suku Laut yang berasal dari Pulau Karimun dan
pulau-pulau sekitarnya, menduduki wilayah Kerajaan Tumasik (berpusat di Selat
Tumasek, Singapura sekarang) yang ditinggalkan oleh Raja Parameswara yang
mengungsi ke Muar akibat penyerangan Kerajaan Majapahit. Suku laut ini juga
menduduki daerah sekitar Malaka dan ketika Raja Parameswara pindah ke Malaka
maka ia disambut oleh masyarakat suku laut disana dan bersepakat dengan
masyarakat suku laut bersama puak-puaknya yang dikenal dengan Batin dan Lenang
untuk menjadi penyangga berdirinya Kerajaan Malaka untuk sama-sama membangun
dan memajukan Malaka menjadi kota yang ramai sebagai pusat perdagangan antar
negara, dengan Parmeswara sebagai rajanya (1389-1414).
Seiring semakin pesatnya perkembangan
Malaka yang wilayahnya mencakupi daerah Karimun, telah terjadi juga interaksi
dengan para pedagang dari Arab dan Persia, dimana selain berdagang juga membawa
misi penyebaran Agama Islam, maka hal ini sangat menggugah hati Parameswara,
maka pada tahun 1414 ia beralih memeluk agama Islam dan berganti nama Iskandar
Syah dan bergelar Sultan. Hal ini juga diikuti oleh hampir seluruh rakyatnya,
termasuk penduduk Karimun. Setelah Runtuhnya Kerajaan Malaka akibat
gempuran Portugis pada tahun 1511, maka Sultan Mahmud Syah – sebagai penerus
dari Sultan Iskandar Syah – mendirikan Kerajaan Johor yang berpusat di Johor
dan Bintan. Dua pusat kerajaan ini berada pada lingkaran gugusan pulau-pulau di
Karimun yang dikenal juga sebagai pusat konsentrasi suku laut sebagai benteng
pertahanan kekuatan angkatan laut kerajaan.
Ada peristiwa penting yang
menunjukkan eksistensi dan kekuatan angkatan laut kerajaan yang bermarkas di Kepulauan
Karimun, yaitu pada tahun 1637, armada kekuatan angkatan laut Kerajaan Johor
dalam sebuah pertempuran yang cukup sengit telah berhasil merampas kapal-kapal
Portugis dan berhasil mengalahkan sepasukan Kapal Aceh yang sedang dalam
pelayaran ke Pahang. Karimun sebagai tempat perekonomian serta pusat
perdagangan pada masa itu, Karimun termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan
Riau-Lingga pada masa kerajaan-kerajaan islam di semenanjung Malaya. Pada tahun
1689 dalam rangka untuk meningkatkan kemakmuran dan stabilitas keamanan dan
politik maka diadakan suatu perjanjian antara kerajaan Johor dengan Belanda.
Namun perjanjian tersebut ternyata membawa konsekuensi semakin bebasnya
orang Belanda untuk berdagang diseluruh wilayah kerajaan Johor termasuk Kepulauan
Karimun, yang pada akhirnya menyebabkan kerugian bagi kalangan rakyat pribumi,
karena Belanda memonopoli perdagangan. Alur sejarah kemudian berganti,
pada tahun 1722 Kerajaan Johor berganti nama menjadi Kerajaan Riau-Lingga
dengan daerah kekuasaan yang sama, hanya ibu kota kerajaan saja yang berpindah
dari Johor ke Ulu Riau. Sebagaimana kebiasaan yang turun temurun, maka nama
kerajaan disesuaikan dengan nama daerah pusat pemerintahannya.
Perjalanan sejarah Kerajaan
Riau-Lingga dari tahun 1722-1784, yaitu terjadi perkembangan yang sangat pesat
dari sektor perdagangan. Sehingga roda ekonomi menggeliat luar biasa didaerah
ini, terutama didaerah Karimun dengan Pulau Kundurnya sebagai penghasil gambir
terbesar kerajaan ketika itu. Sebagai mana diketahui, gambir ketika itu menjadi
komoditi primadona dan banyak dicari oleh pedagang-pedagang dari India, China,
Siam, Jawa dan Bugis. Dengan pesatnya perkembangan perdagangan didaerah
Kerajaan Riau-Lingga maka terjadi persaingan antar Inggris dengan Belanda untuk
menanamkan pengaruhnya dalam kerajaan. Maka pada tanggal 17 Maret 1824 lahirlah
sebuah perjanjian antara Inggris dan Belanda yang dikenal dengan Traktat
London.
Dalam
Traktat London, antara Inggris dan Belanda menyepakati untuk membagi wilayah kekuasaan
Kerajaan Riau-Lingga menjadi dua bagian yaitu, Tanah Semenanjung (termasuk
Malaka) dan Singapura menjadi daerah pengaruh Inggris, sedangkan Kepulauan Riau
dan Lingga menjadi daerah pengaruh Belanda. Bahkan demikian pentingnya posisi
Pualau Karimun maka dalam Traktat London itu disebutkan dalam point keempatnya
yang berbunyi; ”Pulau Karimun dan Pulau Buru yang letaknya sangat dekat dengan
Singapura termasuk dalam wilayah kekuasaan Riau-Lingga,” yang artinya berada
dibawah pengaruh Belanda.
Perang Karimun
terjadi pada tahun 1827 dan hal ini termaktub dalambuku karangan Raja Ali
Haji dan tertulis pada buku karya Reinout Vous yaitu Gentel Janus Merchant
Prince. Kondisi
ini sangat tidak menguntungkan bagi jalannya stabilitas pemerintahan di kerajaan
Riau-Lingga, sehingga konflik terjadi silih berganti dan baik Belanda maupun
Inggris menjalankan politik adu dombanya, yang menyebabkan perang saudara
terjadi. Maka pecahlah Perang Karimun pada tahun 1827, antara pasukan yang di
Pertuan Muda Raja Ja’far yang berpusat di Hulu Riau dengan Sultan Husin yang
berpusat di Singapura. Konflik ini dipicu oleh ketidak setujuan Sultan Husin
menyerahkan Karimun ke tangan Belanda sementara yang di Pertuan Muda Riau VI
Raja Ja’far (1808-1832) telah memberitahukan kepada Sultan Husen (berdasarkan
traktat London), bahwa Pulau Karimun tersebut bukanlah daerah takluk Johor atau
daerah takluk Sultan Husen, oleh karenanya mereka tidak berhak mendiami pulau
tersebut.
Dengan konflik yang berkepanjangan,
menyebabkan Pulau Karimun tidak kondusif untuk aktifitas perdagangan dan mulai
ditinggalkan. Keadaan Karimun yang demikian dilaporkan kepada yang di Pertuan
Muda Riau, dan oleh beliau sepakat menyerahkan Pulau Karimun Kepada Raja
Abdullah bin Raja Haji Ahcmad, serta diangkat menjadi Amir Karimun pertama.
Semenjak saat itu stabilitas Karimun mulai pulih, kemudian datang seorang
Resident Belanda bernama Van den bosch yang meminta izin untuk membuka tambang
timah, dan diizinkan dengan dibuatkan perjanjian dengan pihak kerajaan. Maka
oleh Van den bosch di Pulau Karimun di buka tambang timah yang
diberi nama Monos. Sehingga tidak lama kemudian keadaan Pulau Karimun menjadi
ramai. Meskipun pada dasarnya penambangan itu hanya menguntungkan pihak
Belanda.
Perang itu pun berakhir dengan
keuntungan dari pihak Belanda karena menang dalam perjanjian dilain sisi daerah
Kerajaan Riau-Lingga merupakan daerah Belanda sesuai Traktat London dan dengan
berakhir Perang Karimun memiliki dampak yaitu dibukanya tambang timah yang
dikenal sebagai Monos dan yang bekerja adalah masyarakat tempatan dan
masyarakat yang didatangkan dari luar Karimun dan selain itu pedagang cina
mulai berkembang hingga masuknya perang dunia II.
Sumber Referensi
Buku "Gentle Janus Merchant Prince, Reinout Vous"
Buku " Thufat An nafis, Raja Ali Haji"
Komentar
Posting Komentar