Profil Sejarah : Nurtanio Pringgoadisuryo, Bapak dirgantara yang terlupakan"


Nurtanio? pasti setiap benak kawan-kawan bertanya siapa dia, lantas apa saja jasa yang diberikan kepada kita semua? kali ini penulis akan mengulas siapa beliau dan kiprahnya bagaimana sebelumnya beliau merupakan seorang lulusan Kogyo Semon gakko, SMK (sekarang-red) dan merupakan gelombang pertama dirgantara bersama wiweko supono (hal ini bisa dilihat pada wawancara dengan B.J Habibie di yang terpilih) hal ini tentu saja bertanya-tanya siapa beliau yang termasuk gelombang pertama dalam dirgantara kali ini penulis akan mengulas secara rinci siapa beliau.

Nurtanio Pringgoadisuryo, Laksamana Muda (L.M.U) kelahiran desa Kandangan, Banjarmasin pada tanggal 3 Desember 1923, dari pasangan Bapak Noegroho Pringgoadisurjo dan ibu Luwijah masih beretnik Jawa Banjarmasin,perintis pesawat terbang pertama.

Cita-cita dan keinginan serta kecintaannnya akan dunia kedirgantaraan sudah dia awali sejak masa Hindia Belanda. Nurtanio pada saat itu berlangganan majalah kedirgintaraan Vliegwereld, dan menekuni masalah aerodinamika dan aeromodelling. Pada masa itu, Nurtanio sering mengadakan surat menyurat dan korespondensi dengan sesama pencinta Aeromodelling pada zaman Hindia Belanda. Diantaranya adalah Wiweko Soepono yang saat itu sudah mendirikan perkumpulan pencinta Aeromodelling serta berlangganan majalah Vliegwereld.

Pada masa pendudukan Jepang, di sekolah menengah tinggi teknik atau Kogyo Senmon Gakko, Nurtanio mendirikan perkumpulan Junior Aero Club yang isinya tentang bagaimana teknik pembuatan pesawat model yang merupakan dasar-dasar Aerodinamika. Karena pada masa pendudukan Jepang penggunaan bahasa Inggris dilarang, maka untuk menghidari kecurigaan ditempaknya dua orang pengawas berkebangsaan Jepang di antaranya adalah Tuan Imazawa. Disinilah Nurtanio berkenalan dan bertemu dengan R.J Salatun, yang juga berminat dalam masalah penerbangan dan kebetulan berlangganan majalah kedirgantaraan yang sama yakni Vliegwereld. Pada saat itu peserta dibatasi karena para pesertanya yang sebelumnya membludak, jadi hanya tinggal sedikit.

Di JAC, Nurtanio dan sahabatnya, R.J Salatun, juga bertemu dengan guru olahraga yang bernama Iswahyudi yang juga memiliki pengetahuan dalam masalah penerbangan, yang ketika perang dunia II pecah, sedang mengikuti pendidikan penerbang militer Belanda yang kemudian diungsikan ke Australia. Perhatian Nurtanio pada masa itu tidak hanya dalam masalah pesawat model tetapi bahkan menekuni buku-buku teknik penerbangan yang saat itu banyak berbahasa Jerman serta sudah menekuni dan menggambar rancangan glider atau pesawat layang type Zogling yang merupakan obsesinya. Sekitar tahun 1948, Nurtanio kemudian ditugaskan ke Manila, Filipina untuk melanjutkan studi kedirgantaraannya di FEATI (Far Eatern Aero Technical Insitute). Sebagai bekal hidup, Nurtanio membawa kerajinan perak Yogyakarta yang ternyata susah untuk dijual. kemudian setelah selesaidi tugaskan ke manila,dia kembali ke indonesia.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, Nurtanio bergabung dengan Angkatan Udara di Yogyakarta yang dipimpin oleh Suryadi Suryadarma yang pada masa itu disebut dengan TKR Jawatan Penerbangan. Nurtanio mencari R.J Salatun untuk bergabung juga dengan TKR Jawatan Penerbangan. Disana, juga bergabung Prof. Ir. Rooseno dan Wiweko Soepono. Nurtanio kemudian diberi jabatan Sub Bagian Rencana di bagian Kepala Bagian Rencana dan Penerangan (semula dinamakan Propaganda namun diganti karena berkesan seperti Bagian Propaganda Nazi yang dijabat oleh sahabat Adolf Hitler, Joseph Gobbels) yang dijabat oleh Wiweko Soepono sedangkan R.J Salatun mendapat jabatan bagian penerangan. Ketiga orang ini yang kemudian disebut sebut sebagai tiga serangkai perintis kedirgantaraan Indonesia tersebut kemudian melaksanakan tugasnya antara lain mendesain tata kepangkatan Angkatan Udara yang dibantu oleh Halim Perdanakusuma yang pernah berdinas di Angkatan Udara Kerajaan Inggris (Royal Air Force/RAF) dan persiapan-persiapan lainnya. Sedangkan Nurtanio langsung mendesain glidernya. pada tahun 1948 dia menjadi panitia yang merancang supaya adanya pesawat kepresidennan yaitu Seulawah Ri-001 bersama wiweko supono dan terbeli pesawat Dakota sisa perang dunia II pada bula Oktober 1948

Kemudian Suryadarma memindahkan koleksi buku-buku militer dan penerbangannya ke kantor yang menjadikannya sebagai perpustakaan Angkatan Udara yang pertama, yang sering hadir di perpustakaan itu adalah Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh.Nurtanio akhirnya berhasil menyelesaikan rancangan glidernya, ia kemudian bersama Wiweko Soepono pindah ke Maospati karena lebih lengkap fasilitasnya dibandingkan di Maguwo, Yogyakarta.

Nurtanio memperoleh gelar Akademi ”Doctor in Aeronautical Engineering” dari FEATI Institute of Technology, Manila. Dari tidak sedikit pesawat rancangannya, ada pesawat terbang yang sangat membanggakan dan merupakan ambisi profesinya yang berhasil dibuatnya yaitu pesawat tempur anti gerilya. Pesawat terbang tempur ini dinamakan “si Kumbang” . Tepat tanggal 1 Agustus 1954 pesawat si Kumbang diterbangkan untuk pertamakalinya oleh seorang “test pilot” professional berkebangsaan Amerika.

Disamping itu, Nurtanio juga merancang pesawat terbang latih yang diberi nama Belalang. Uji coba terbang pertama dilakukan oleh Nurtanio sendiri pada tanggal 26 April 1958 di Pangkalan Udara Husein Sastranegara Bandung. Setahun berikutnya, Nurtanio melakukan penyempurnaan dan modifikasi pesawat Belalang, sehingga dapat mencapai kecepatan 144 km per jam. Setelah dapat memproduksi sebanyak 3 buah pesawat terbang belalang, ketiganya diterbangkan ke Pangkalan Udara Adisutjipto di Jogjakarta, untuk dipergunakan sebagai pesawat latih dasar oleh sekolah penerbang AURI. Dalam catatan, sebanyak 8 orang kadet penerbang AURI sempat dilatih dengan pesawat terbang latih Belalang hingga mencapai terbang solo. Selain itu, konon 5 buah pesawat belalang lainnya juga telah diperuntukkan bagi sekolah penerbang Angkatan Darat di Semarang.

Pada masa selesainya perang kemerdekaan (sekitar tahun 1950), Nurtanio berhasil merancang dan membuat pesawat Sikumbang yang merupakan pesawat all metal pertama Indonesia itu. Nurtanio kemudian berencana menerbangkan ke daerah Sekaten, Yogyakarta dari Bandung. Sahabatnya R.J Salatun mempunyai firasat buruk tentang penerbangan itu dan berniat membatalkannya. Karena dia punya akses langsung kepada Kepala Staf Angkatan Udara Suryadarma, Salatun memberikan argumen kepada Suryadarma agar membatalkan rencana penerbangan Nurtanio ke Yogyakarta dengan alasan Nurtanio adalah satu-satunya kostruktur penerbangan yang dimiliki Angkatan Udara. Suryadarma setuju dengan alasan Salatun dan memerintahkan stafnya untuk memberikan radiogram pembatalan rencana penerbangan ke Yogyakarta. Untuk mengobati rasa kesalnya, Nurtanio menerbangkan pesawat Sikumbang itu keliling udara Bandung di sekitar Lanud Husein Sastranegara.

Tidak lama kemudian pesawat itu didaratkan di Lanud Husein karena mengalami gangguan berupa mesinnya mati. Nurtanio mengambil kesimpulan seandainya dia melakukan penerbangan ke Yogyakarta, maka dia harus mendarat darurat di daerah rawan yang masih dikuasai DI/ TII karena mengalami mesin mati.

Pada saat itu, Indonesia menerima berbagai macam pesawat dan peralatan perang dari Belanda sebagai pelaksanaan pengakuan kedaulatan yang merupakan buah dari Konfrensi Meja Bundar. Untuk Angkatan Udara, Indonesia menerima berbagai pesawat di antaranya P-51 Mustang, Pembom sedang/ringan B-25 Mitchell dan pesawat angkut DC-3 Dakota. Pesawat-pesawat itu masih berwarna metal aluminium karena tidak diberi cat kamuflase. Alasan Nurtanio adalah pesawat itu permukaannya menjadi lebih licin sehingga mengurangi hambatan (drag). Namun kemudian muncullah gejala politik kurang baik yang diwarnai pembentukan dewan-dewan daerah oleh pimpinan wilayah politik dan pimpinan wilayah angkatan perang (yang dijuluki warlord) sebagai protes akibat kebijakan pemerintah pusat yang secara ekstrem dapat menjurus kearah disintegrasi. Bila kemungkinan itu terjadi, maka Angkatan Perang Indonesia khususnya Angkatan Udara Republik Indonesia akan dibuat repot.

Untuk mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terburuk, R.J Salatun yang menjabat sebagai Sekretaris Dewan Penerbangan merangkap Sekretaris Gabungan Kepala-Kepala Staf memberi masukan kepada KSAU Suryadarma untuk mulai memberi kamuflase kepada pesawat-pesawat AURI selagi PO (periodiek overhaul). Dengan demikian jika terjadi konflik, AURI tidak akan kerepotan. Nurtanio kecewa dan bertanya hal itu untuk apa. Tidak lama kemudian ketika AURI jadi ujungtombak penumpasan PRRI/Permesta, seluruh armada udaranya sudah diberi kamuflase.

Pada masa Menteri Keamanan Nasional dijabat oleh Jenderal A.H. Nasution dan deputinya Jendral Hidajat Martaatmadja, Nurtanio memperoleh kredit dari Polandia sebesar (atau sekecil) 1,5 juta dollar Amerika Serikat untuk Depot Penyelidikan, Percobaan dan Pembuatan AURI menjadi LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan yang merupakan cikal bakal IPTN nantinya). Caranya, dengan alih teknologi produksi melalui perakitan pesawat pertanian PZL-104 Wilga yang dinamai Gelatik oleh Presiden Soekarno. Dalam mengajukan proposalnya, Jenderal Nasution maupun Jenderal Hidayat sangat terkesan oleh sifat Nurtanio yang begitu realistis dan tidak muluk-muluk.

Menurut Ir. Hoo Kian Lam (pemilik pesawat terbang Walraven W-2 PK-KKH dan pernah berusaha mendirikan industri penerbangan pada masa Hindia-Belanda), yang ikut serta dalam kunjungan ke pabrik PZL di Warsawa, Nurtanio yang memimpin delegasi menerbangkan sendiri pesawat Wilga hingga sangat mengesankan bagi pejabat-pejabat Polandia.

Namun ketika usulan R.J Salatun berdasarkan pengalamannya pada tahun 1958 ketika ditawari Perdana Menteri RRC, Chou-en Lai untuk memproduksi pesawat jet Type 56 (lisensi MiG-17 versi China), Nurtanio berkata bahwa untuk proyek Gelatik yang begitu membumi saja dukungan dana dan pembiayaannya sudah tersendat-sendat. Ketika proyek Wilga/Gelatik berjalan, Nurtanio mengeluhkan kondisi sosial ekonomi para karyawannya yang membuat kaget orang Polandia. Sampai satu kali mereka perhatikan, kenapa semua karyawan meninggalkan pekerjaannya. Ternyata sedang mengantri minyak tanah.Tidak itu saja, Nurtanio telah pula merintis pembuatan sebuah pesawat terbang yang diperuntukkan bagi kegiatan olah raga dirgantara. Pesawat yang merupakan pengembangan dari jenis pesawat terbang terdahulu dan diluncurkan dengan nama “Si kunang”. Pesawat yang hampir seratus persen merupakan produk yang “hand-made” ini dapat diselesaikannya pada tahun 1958. Seluruh bahan baku pembuatan pesawat terbang olah raga “Si Kunang” ini berasal dari dalam negeri. Sedangkan mesin pesawat terbang tersebut menggunakan mesin Volkswagen, VW – 25 HP/1190 cc. Bahan kayu jamuju diperoleh dari hutan, kain CP diperoleh dari membeli di toko di Bandung, dan mesin Volkswagen dari PT Piola , juga di Bandung. bahwa pada masa itu ekonomi Indonesia sedang dalam krisis tapi Nurtanio tidak putus asa dan memutar cara dengan menggunakan pesawat sisa perang dan rubber bisa ditemukan pada setiap pabrik peninggalan Belanda.

Selain kegiatannya di LAPIP, Nurtanio bersama staf dan penerbang AURI juga aktif dalam memantau kesiapan teknis armada-armada udara yang dimiliki AURI saat itu. Diantaranya adalah kelemahan pada pesawat tempur MiG-19 Farmer versi awal yang dioperasikan AURI yang selalu memberikan indikasi adanya kesalahan saat digunakan meski pesawat ini memberikan keselamatan dan keamanan dengan penggunaan mesin ganda. Setelah terjadi pembicaraan antara R.J Salatun, Nurtanio dan Leo Wattimena (salah seorang penerbang legendaris AURI selain Rusmin Nuryadin), kesalahan itu terletak pada tongkat kemudinya (stick force) yang selalu berubah-ubah (tidak stabil). Sebenarnya KSAU Suryadarma menolak menerima pesawat itu namun Deputi KSAU Uni Soviet Marsekal Rudenko dalam perundingan di Kremlin dimana R.J Salatun ikut hadir, mengancam bahwa dua skadron (sekitar 24 pesawat) pesawat tempur MiG-21 Fishbed tidak dapat diberikan kecuali Indonesia mau menerima 10 pesawat tempur MiG-19 Farmer. Pesawat MiG-19 ini kemudian pada awal orde baru dijual ke Pakistan.

Tahun 1964, AURI menjalin kerjasama dengan Institut Teknologi Bandung dan Pindad untuk mengembangkan roket di bawah proyek "PRIMA" (Proyek Pengembangan Roket Ilmiah dan Militer Awal) yang dipimpin Budiardjo dan R.J Salatun. Hasil kongkritnya adalah terciptanya Roket Ilmiah Kartika I yang merupakan roket sounding kedua di negara Asia-Afrika saat itu, sesudah Jepang. Alat telemetrinya yang kedua sesudah India, berhasil merekam sinyal-sinyal dari satelit cuaca TIROS dengan alat buatan dalam negeri. Pada waktu roket Kartika sedang didesain, para sarjana dan teknisi LAPIP ikut dikerahkan.

Sekitar pertengahan tahun 1965, didirikan KOPELAPIP yang bertujuan membuat pesawat Fokker F -27. Pilihan atas F -27 dapat dimengerti, karena pasarnya besar meskipun pabrik Fokker rupa -rupanya menganggap bahwa pesawat itu sudah melewati puncak produksinya sehingga yakin akan mengalami penurunan. F-27 secara operasional merupakan pesawat yang handal, meskipun jika diperhatikan dari teknik produksi bagi industri penerbangan pemula semacam KOPELAPIP di Indonesia pada masa itu sangat terlalu maju yakni teknik pembuatannya tidak pakai paku keling tetapi dengan merekatkan lempengan-lempengan aluminium (metal bonding). Proyek itu merupakan suatu langkah maju yang ambisius mengingat investasi di bidang industri penerbangan sangat minim. Pengambil keputusan yang tertinggi tidak ayal lagi tergiur oleh cara pendanaan proyek yang mengandalkan hasil ekspor komoditi lemah seperti kumis kucing atau kayu manis.dia pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal LAPAN saat kegiatan pembangunan stasiun peluncuran roket giat-giatnya dibangun.

KOPELAPIP dipimpin seorang menteri. Pengurusnya terdiri dari orang-orang yang (maaf), sebelumnya tidak pernah terdengar ada kaitannya dengan pembuatan pesawat terbang atau kedirgantaraan. Sahabatnya, R.J Salatun tidak tega menanyakan kepada Nurtanio tentang KOPELAPIP karena setelah berjerih-payah puluhan tahun dalam merintis industri kedirgantaraan di Indonesia dari nol, sekali tempo ada jabatan menteri, ternyata bukan diberikan kepadanya. Kemudian terdengar kabar bahwa bertentangan dengan gagasan semula tentang cara pendanaan dengan komoditi lemah, sang menteri minta izin ekspor minyak bumi. Akibat meletusnya G-30S/PKI dan pergantian pemerintahan, maka KOPELAPIP mengalami kegagalan. Bahkan kemudian hal itu membawa keuntungan bagi pabrik Fokker, larisnya pesawat turboprop Fokker F-27 yakni timbulnya krisis energi terutama minyak bumi akibat konflik di Timur Tengah karena pecahnya Perang Enam Hari dan Perang Yom Kippur, yang membuat pasaran pesawat turboprop yang dikenal hemat bahan bakar melonjak disamping munculnya seorang salesman berbangsa Inggris yang ulung telah mendongkrak pemasaran pesawat F -27 hingga menjadi paling laris di antara produk-produk Fokker.

Akibat G 30 S PKI, Nurtanio turut prihatin,Nurtanio pernah mengatakan, bahwa pendekatan ke arah pembuatan pesawat terbang bisa juga ditempuh melalui peningkatan maintenance (perawatan dan pemeliharaan) secara bertahap. Dimulai dengan maintenance by repair, dan akhirnya maintenance by manufacturing. Ia mengatakan, melalui kerjasama dengan Polandia dalam pembuatan pesawat Gelatik dia bertujuan meningkatkan SDM ke produksi pesawat. Semua yang telah dirintis oleh Nurtanio, tidak bisa dibantah lagi sebagai hanya produk dari seorang “hobiis”, akan tetapi sangat jelas sudah merupakan suatu perjuangan yang sangat berarti dan bernilai tinggi bagi perintisan sebuah industri penerbangan nasional. Satu upaya yang masih sangat bersahaja. Satu upaya yang belum memperoleh dukungan “dana tak terbatas” dari pemerintah yang berkuasa. Satu upaya yang benar-benar berangkat dari jiwa seorang “patriot” bangsa, yang berjuang tanpa mengenal lelah dan juga tanpa menghiraukan terhadap pamrih apapun. Marilah kita menundukkan kepala sejenak untuk menghormati salah seorang perintis industri dirgantara nasional, yang telah mengorbankan jiwa dan raganya demi tanah air tercinta.

 Ketika itu ia menerbangkan pesawat yang telah dimodifikasi dengan memberi tangki bahan bakar ekstra.  Yaitu pesawat angkut ringan Super Aero-45 bermesin ganda buatan Cekoslovakia. Almarhum bersama dengan Supadio, saat itu tengah melakukan terbang uji setelah pesawat Super Aero-45 tersebut diperbaiki. Pesawat terbang Super Aero-45 jatuh dan terbakar dalam uji terbang tersebut sebagai akibat dari salah satu mesinnya yang mati mendadak, Pesawat yang sebenarnya akan digunakan untuk Nurtanio melakukan penerbangan keliling dunia ini mengalami kerusakan mesin, dia berusaha untuk mendarat darurat di lapangan Tegallega, Bandung namun gagal mendarat dengan selamat karena pesawatnya menabrak toko.

Namun sejarah kemudian mencatat bagaimana setelah gugur Nurtanio tertimpa aib. LIPNUR diubah menjadi IPTN. Nama Nurtanio dihapus. Alasan menghapus nama Nurtanio yang disampaikan secara resmi, sangat sepele. Tuduhannya, adanya surat pribadi dengan kop perusahaan sehingga keluarga Nurtanio difitnah akan memiliki saham IPTN. Isu itu kemudian, yang sangat disayangkan, dibesar-besarkan bahkan didramatisasi.

Sumber: Awal Kedirgantaraan Indonesia, Perjuangan Auri 1945-1950, Buku Obor
          “Nurtanio, Perintis Industri Pesawat Terbang Indonesia”, oleh IMV.Soeparno, terbitan PPAU           dan Q-communication). Tulisan ini pernah dimuat di Media Indonesia tanggal 27 Maret                   2009.
          Wikipedia : Nurtanio Pringgoadisuryo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

intel vs amd dan arm

Standar profesi ACM dan IEEE Standar Profesi di Indonesia dan Regional

Arah demokrasi Indonesia