Desa-ku Part 2
Semua orang menjulukinya desa diantara pimpinan atau desa
cendikiawan, kotanya desa, kampong halamannya kota, desa melingkupi kota, desa
gudangnya ide insan dan masih banyak julukan bahkan sering disebut sebagai
Darussalam, Al-fath yang saya lupa, tapi
ada satu yang tidak bisa dilepaskan dari desa ini…saya tidak tahu apa
seolah-olah adanya ikatan batin yang kuat antara tetua desa dengan lingkungan
sekitar yaitu jangan pernah ada pembukaan lahan atau pembangunan terutama di gunung hingga jalur sungai tetua
desa pernah menyebut seorang raja yang masyhur pada masa itu terutama desa itu merupakan
taklukan Kerajaan yang termasyhur di seantero nusantara “Konon sewaktu raja itu
berkunjung kedesa ini sang raja menitahkan tidak boleh ada yang membangun atau
merusak lingkungan sekitar desa ini hingga menuju istana maka masyarakat disini
alingan[1]
raja artinya raja memberikan daerah perdikan yaitu desa bebas pajak dimana syaratnya
masyarakat harus menjaga lingkungannya supaya terjaga siapa tidak mematuhi maka
tunggulah kehancurannya sang dewa akan angkara murka di daerah ini maka
gegerlah negeri ini” itulah ceritanya dimana mereka harus mematuhi aturan yang
dibuat bila diingat memang ada benarnya menjaga lingkungan supaya tetap terjaga
kestabilannya baik yang ada didalam maupun diluar sebagai suatu warisan yang
bisa dilihat oleh anak cucu.
Waktu berlalu saya beranjak dewasa berkelana hingga keluar
desa dengan restu orang tua untuk meraih cita-cita waktu-waktu berlalu dengan
cepat seperti air yang mengalir seolah-olah berjalan seketika dan saya pulang
ke desa dimana saya dibesarkan untuk mengunjungi orang tua, saudara, bahkan
teman-teman saya disana, desa itu belum berubah sama sekali tapi untuk lembaga
pendidikan, sekolah, perpustakaan mulai menyebar dengan pesat tinggal jalan
menghubungkan ke provinsi sebelah belum usai karena terhambat untuk melewati
jalur itu gunung hingga sungai harus dibuka lahannya tapi ditentang dengan tetua
serta kepala desa disana walupun dengan musyawarah bahkan hasil yang dicapai
terlalu alot untuk diputuskan karena para tetua desa merasa takut akan kualat
bila menentang aturan yang telah lama itu tapi pemerintah harus menjalankan
suatu pembangunan dari pusat sebagai jalur nasional.
Perundingan terasa alot, bahkan orang-orang tetap pada
pendiriannya karena daerah itu adalah amanat leluhur yang mesti dijaga bila
telah diamanahkan kepada masyarakat harus ditaati silakan saja buka jalan yang
lain dengan rute yang bisa dilalui tapi pihak pembangun tidak bisa karena
satu-satunya area untuk melewati sampai ke provinsi harus dibuka melalui jalur
tersebut.
Alangkah susahnya pengertian manusia disamping itu adanya
manusia yang mengejar harta semata dengan memanfaatkan sebuah momentum disamping
itu juga adanya pesan tidak tersirat dari raja yang seolah selalu berpikir
kedepan demi rakyatnya tapi tidak ada yang menyadarinya, raja yang memberikan
titahnya demi kelangsungan anak cucu, dengan ini diwarisi hingga tetua harus
merundingkannya dengan pemerintah setempat terutama terlebih lembaga adat.
Padahal pemerintah merupakan machtsvorming[2]
supaya adanya lahan hijau dan setidaknya untuk menjaga pemerintah harus membuat
Buffer Project[3]disamping
itu juga harus mengetahui konsekuensi yang akan berdampak buruk kedepannya bila
tidak diminimalisir hal itu.
Memang kata ibu saya desa ini terasa semi-bebas dimana
mereka ingin bebas tapi terkekang sesuatu bila bebas sekali ibu saya merasa
khawatir mereka tidak bertanggung jawab hal ini bisa dimanfaatkan seolah pihak
lain merasa bersorak-sorai bahkan bertepuk tangan melihat daerah ini kedepannya
akan susah tidak seperti dulu yang saling menghargai bahkan alam merupakan guru
bagi kehidupan, buku merupakan guru yang tidak marah, manusia bukan menggurui
melainkan menjadikannya memanusiakan manusia, ya… hanya nasehat-nasehat yang
bisa saya terima dari orang tua saya tapi dari tetua desa dan keluh kesah
masyarakat bukan wewnenang saya toh karena itu adalah urusan antara pemerintah
dan masyarakat sekitar bila saling menyalah bisa panjang urusan padahal umur
manusia tidak pernah panjang hal itu tidak pernah mereka sadari seolah mereka
ingin hidup abadi tapi tidak pernah mengecapi makna kehiduapan itu sendiri
itulah manusia yang tersesat oleh kesalahan dirinya.
Disamping itu saya tidak tega bila daerah yang asri harus
dibuka untuk kepentingan ekonomi dan politik semata biarlah dia asri sedemikian
rupa karena di provinsi terutama di desa itu merupakan tempat kota untuk
bernaung, tidak adanya lahan terbuka hijau dikota supaya orang-orang bahkan
bangsa-bangsa bisa menikmati indahnya tempat itu sebagai penenang jiwa yang
kusut karena pekerjaan mereka selama ini.
Akhirnya saya melanjutkan pendidikan lebih tinggi dan
mendapat pekerjaan di kota, sewaktu itu saya dikota begitu lama dimana cuacanya
tidak begitu kentara kadang-kadang hujan kadang-kadang kering air hujan tidak
jatuh ketanah yang ada hanya diatap rumah-rumah penduduk bukan ketanah bahkan
kurang sekali ruang terbuka hijau tidak seperti halnya didesa dimana anak-anak
begitu riang akan hujan pertanda lading dan sawah mulai berbuah bulir padinya
dan pada malam yang sejuk kadang mereka berkumpul dib alai desa sambil membakar
jagung, saya, bahkan saya tidak pernah
mendengar kicauan burung atau nyanyian pohon-pohon yang rindang seperti halnya
desa saya tempati begitulah keadaan di situ di kota bahkan masyarakat disana
seolah-olah terkotak-kotak akan suatu kepentingan bahkan saling semerawut entah
apa mereka pikirkan mungkin dalam benaknya harta-harta, jabatan-jabatan, harus
siap segala urusan, dan lain-lain paahal bila mereka bilang akan itu dalam isi
hati mereka tidak akan siap segala permasalahan itu, jika tercium oleh para kepentingan akan mudah
di pecah dan diretak kebersamaannya bahkan mereka saling sikut karena kompetisi
yang ada disana mereka tidak bekerja sebagai mitra malahan sebagai atasan dan
bawahan seolah mereka harus tunduk kepada kepunyaan kepentingan sang penguasa
bukan diajarkan sebagaimana mereka manusia, bagaimana antara kota dan desa
dikerjakan sebagai partner kerja (work partnership to work together and
together for work) yaitu menjadikan arsitek bangsa yang membangun pembangunan
nasional untuk memanusiakan manusia seutuhnya bukan menjadikan mereka sebagai
penghuni alam liar dikota.
Pada suatu masa saya mendengar dari orang tua saya akhirnya
gunung dan daerah sungai dibuka untuk rute jalan provinsi maka banyaklah
mobilisasi kendaraan keluar masuk untuk kendaraan maka bertambah pula oejan mas[4]
desa, tapi yang membuat saya gelisah adalah bagaimana keadaan masyarakatnya
terutama generasi muda tapi saya tidak terlalu mengetahui apa saja terjadi
disana, para pemuda dari lahirnya mereka sudah terlilit sesuatu bahkan mereka
selalu senang-senang dengan masa mudanya begitu juga dengan saya, padahal
bangsa-bangsa lain sibuk mengejar mimpi mereka tapi bangsa ini sibuk mengejar
ikatan itu supaya terikat lebih seperti burung dalam sangkar atau katak dalam
tempurung cobalah seandainya yang kaya mau mempekerjakan yang miskin sebagai
mitra kerja bukan budak, seandainya para pemuda diajarkan sebagai
leader/pemimpin demi kemajuan bangsa dan negaranya supaya memanusiakan manusia,
inikah takdir bagi anak negeri yang segala lapisannya tidak boleh mengecap
rasanya dunia luar itu atau tertutupnya pintu bagi kalangan bawah demi
mempelajari suatu kemajuan yang ada apa tidak boleh manusia menolong manusia
atau yang baik menolong sedang kesusahan, kapan sifat jahat manusia berubah
walaupun mereka walau hanya menyuapai seekor “anjing” yang kehausan di tengah sumur
dan memberinya, apa tidak boleh yang baik membantu menghilangkan sifat yang
jahat? Ya… itulah perubahan dimana waktu tidak bisa ditahan.
[1]
Dilindungi oleh pemerintah
[2]
Pembuat kekuasaan
[3]
Proyek petanian sebagai tambahan penyangga pertanian supaya tidak merosot
[4]
Keuntungan yang berlimpah.
Komentar
Posting Komentar