Desa-ku Part 1...
Saya tinggal pada suatu desa ya... tentu saja desa yang
asri, sejuk, masyarakatnya yang ramah dan nyaman untuk ditinggali, bisa
disebut bak ibarat seseorang yang
berteduh pada sebuah pohon besar yang rindang dan selalu jatuh buah yang ranum
untuk dimakan siapa saja begitu manis untuk dinikmati, seolah-olah manusia
selalu diayun-ayun karena kenyamanan, selain itu masyarakatnya yang ramah-tamah
mempunyai tata karma sopan santun tapi mereka tidak mengenal adat istiadat tapi
hukum yang kuat tidak memihak pada siapapun. Menurut sejarah desa ini pernah
menjadi gemeente[1],
saya sering ke pelabuhan dimana ditepi sungai tersebut berdiri pasar loods [2]
yang menjual hasil sungai hingga hasil laut, ya... desa diantara pulau-pulau
yang indah bak untaian permata indah dipandang bahkan sampai turis mancanegara
mengagumi dan memuji.
Adat istiadat yang
kolot dan menghambat kemajuan mereka tidak mengenal akan hal itu karena
kesadaran akan ilmu walaupun ilmu itu diturun temurun dipelajari sejak nenek
moyang disesuaikan dengan perkembangan zaman sekarang, banyak orang-orang yang
menyanjung bahkan memuji desa itu karena disanalah banyak orang-orang yang
ternama tinggal dinegeri sabrang berasal dari negeri ini tepatnya desa ini baik
dari kalangan pejabat rendah hingga pejabat tinggi di pemerintahan karena
masyarakat selalu melekat pada dirinya ialah zelfwerkzaamheid[3].
pada desa ini sejak zaman inggris karena daerah ini bagian jajahan inggris
karena bersebelahan dengan daerah jajahan belanda pemerintah bekerja sama
mendirikan volkshuisvesting[4]
ada hal aneh dimana pemerintahan dibawah naungan belanda tapi dilain pihak ada
inggris seolah olah sebagai daerah rebutan bagi kedua belah pihak bahkan
pemerintahan semasa itu terasa tumpang tindih tapi masyarakatnya tetap sabar
berjuang demi anak cucu supaya tidak ditindas, alam yang melimpah sebagai
pinjaman untuknya apa mau mereka yang nanti silih berganti bisa menjaga yang
dipinjam oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada negeri ini.
Semua orang menjulukinya desa diantara pimpinan atau desa
cendikiawan, kotanya desa, kampong halamannya kota, desa melingkupi kota, desa
gudangnya ide insan dan masih banyak julukan bahkan sering disebut sebagai
Darussalam, Al-fath yang saya lupa, tapi
ada satu yang tidak bisa dilepaskan dari desa ini…saya tidak tahu apa
seolah-olah adanya ikatan batin yang kuat antara tetua desa dengan lingkungan
sekitar yaitu jangan pernah ada pembukaan lahan atau pembangunan terutama di gunung hingga jalur sungai tetua
desa pernah menyebut seorang raja yang masyhur pada masa itu terutama desa itu merupakan
taklukan Kerajaan yang termasyhur di seantero nusantara “Konon sewaktu raja itu
berkunjung kedesa ini sang raja menitahkan tidak boleh ada yang membangun atau
merusak lingkungan sekitar desa ini hingga menuju istana maka masyarakat disini
alingan[5]
raja artinya raja memberikan daerah perdikan yaitu desa bebas pajak dimana syaratnya
masyarakat harus menjaga lingkungannya supaya terjaga siapa tidak mematuhi maka
tunggulah kehancurannya sang dewa akan angkara murka di daerah ini maka
gegerlah negeri ini” itulah ceritanya dimana mereka harus mematuhi aturan yang
dibuat bila diingat memang ada benarnya menjaga lingkungan supaya tetap terjaga
kestabilannya baik yang ada didalam maupun diluar sebagai suatu warisan yang
bisa dilihat oleh anak cucu.
Waktu berlalu saya beranjak dewasa berkelana hingga keluar
desa dengan restu orang tua untuk meraih cita-cita waktu-waktu berlalu dengan
cepat seperti air yang mengalir seolah-olah berjalan seketika dan saya pulang
ke desa dimana saya dibesarkan untuk mengunjungi orang tua, saudara, bahkan
teman-teman saya disana, desa itu belum berubah sama sekali tapi untuk lembaga
pendidikan, sekolah, perpustakaan mulai menyebar dengan pesat tinggal jalan
menghubungkan ke provinsi sebelah belum usai karena terhambat untuk melewati
jalur itu gunung hingga sungai harus dibuka lahannya tapi ditentang dengan tetua
serta kepala desa disana walupun dengan musyawarah bahkan hasil yang dicapai
terlalu alot untuk diputuskan karena para tetua desa merasa takut akan kualat
bila menentang aturan yang telah lama itu tapi pemerintah harus menjalankan
suatu pembangunan dari pusat sebagai jalur nasional.
Perundingan terasa alot, bahkan orang-orang tetap pada
pendiriannya karena daerah itu adalah amanat leluhur yang mesti dijaga bila
telah diamanahkan kepada masyarakat harus ditaati silakan saja buka jalan yang
lain dengan rute yang bisa dilalui tapi pihak pembangun tidak bisa karena
satu-satunya area untuk melewati sampai ke provinsi harus dibuka melalui jalur
tersebut.
Alangkah susahnya pengertian manusia disamping itu adanya
manusia yang mengejar harta semata dengan memanfaatkan sebuah momentum disamping
itu juga adanya pesan tidak tersirat dari raja yang seolah selalu berpikir
kedepan demi rakyatnya tapi tidak ada yang menyadarinya, raja yang memberikan
titahnya demi kelangsungan anak cucu, dengan ini diwarisi hingga tetua harus
merundingkannya dengan pemerintah setempat terutama terlebih lembaga adat.
Padahal pemerintah merupakan machtsvorming[6]
supaya adanya lahan hijau dan setidaknya untuk menjaga pemerintah harus membuat
Buffer Project[7]disamping
itu juga harus mengetahui konsekuensi yang akan berdampak buruk kedepannya bila
tidak diminimalisir hal itu.
Memang kata ibu saya desa ini terasa semi-bebas dimana
mereka ingin bebas tapi terkekang sesuatu bila bebas sekali ibu saya merasa
khawatir mereka tidak bertanggung jawab hal ini bisa dimanfaatkan seolah pihak
lain merasa bersorak-sorai bahkan bertepuk tangan melihat daerah ini kedepannya
akan susah tidak seperti dulu yang saling menghargai bahkan alam merupakan guru
bagi kehidupan, buku merupakan guru yang tidak marah, manusia bukan menggurui
melainkan menjadikannya memanusiakan manusia, ya… hanya nasehat-nasehat yang
bisa saya terima dari orang tua saya tapi dari tetua desa dan keluh kesah
masyarakat bukan wewnenang saya toh karena itu adalah urusan antara pemerintah
dan masyarakat sekitar bila saling menyalah bisa panjang urusan padahal umur
manusia tidak pernah panjang hal itu tidak pernah mereka sadari seolah mereka
ingin hidup abadi tapi tidak pernah mengecapi makna kehiduapan itu sendiri
itulah manusia yang tersesat oleh kesalahan dirinya.
Disamping itu saya tidak tega bila daerah yang asri harus
dibuka untuk kepentingan ekonomi dan politik semata biarlah dia asri sedemikian
rupa karena di provinsi terutama di desa itu merupakan tempat kota untuk
bernaung, tidak adanya lahan terbuka hijau dikota supaya orang-orang bahkan
bangsa-bangsa bisa menikmati indahnya tempat itu sebagai penenang jiwa yang
kusut karena pekerjaan mereka selama ini.
Akhirnya saya melanjutkan pendidikan lebih tinggi dan
mendapat pekerjaan di kota, sewaktu itu saya dikota begitu lama dimana cuacanya
tidak begitu kentara kadang-kadang hujan kadang-kadang kering air hujan tidak
jatuh ketanah yang ada hanya diatap rumah-rumah penduduk bukan ketanah bahkan
kurang sekali ruang terbuka hijau tidak seperti halnya didesa dimana anak-anak
begitu riang akan hujan pertanda lading dan sawah mulai berbuah bulir padinya
dan pada malam yang sejuk kadang mereka berkumpul dib alai desa sambil membakar
jagung, saya, bahkan saya tidak pernah
mendengar kicauan burung atau nyanyian pohon-pohon yang rindang seperti halnya
desa saya tempati begitulah keadaan di situ di kota bahkan masyarakat disana
seolah-olah terkotak-kotak akan suatu kepentingan bahkan saling semerawut entah
apa mereka pikirkan mungkin dalam benaknya harta-harta, jabatan-jabatan, harus
siap segala urusan, dan lain-lain paahal bila mereka bilang akan itu dalam isi
hati mereka tidak akan siap segala permasalahan itu, jika tercium oleh para kepentingan akan mudah
di pecah dan diretak kebersamaannya bahkan mereka saling sikut karena kompetisi
yang ada disana mereka tidak bekerja sebagai mitra malahan sebagai atasan dan
bawahan seolah mereka harus tunduk kepada kepunyaan kepentingan sang penguasa
bukan diajarkan sebagaimana mereka manusia, bagaimana antara kota dan desa
dikerjakan sebagai partner kerja (work partnership to work together and
together for work) yaitu menjadikan arsitek bangsa yang membangun pembangunan
nasional untuk memanusiakan manusia seutuhnya bukan menjadikan mereka sebagai
penghuni alam liar dikota.
[1]
Kota besar pada masa hindia belanda
[2]
Los-los buat pedagang
[3]
Bekerja sendiri (berdikari)
[4]
Perumahan rakyat
[5]
Dilindungi oleh pemerintah
[6]
Pembuat kekuasaan
[7]
Proyek petanian sebagai tambahan penyangga pertanian supaya tidak merosot
Komentar
Posting Komentar