Pertempuran 5 Hari di Palembang
PERTEMPURAN
5 HARI DI PALEMBANG
Pertempuran di Palembang terjadi
antara tanggal 1-5 Januari 1947 hal ini terjadi dikarenakan adanya provokasi
Belanda ditambah juga Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan
perang tiga matra yang pertama kali dialami oleh masyarakat Palembang pada masa
itu begitu pula pihak Belanda. Perang tersebut terjadi melibatkan kekuatan
darat, laut, dan udara. Belanda sangat berkepentingan untuk menguasai Palembang
secara total karena tinjauan Belanda terhadap Palembang dari aspek politik,
ekonomi dan militer. Dalam aspek politik, Belanda berusaha untuk menguasai
Palembang karena ingin membuktikan kepada dunia internasional bahwa mereka
benar-benar telah menguasai Jawa dan Sumatera. Ditinjau dari aspek ekonomi
berarti jika Kota Palembang dikuasai sepenuhnya maka berarti juga dapat
menguasai tempat penyulingan minyak di Plaju serta Sei Gerong. Selain itu,
dapat pula me- manfaatkan Palembang sebagai pusat perdagangan karet dan hasil
bumi lainnya untuk tujuan ekspor. Sedangkan jika ditinjau dari segi militer,
sebenarnya Pasukan TRI dan pejuang yang dikonsentrasikan di Kota Palembang
merupakan pasukan yang relatif mempunyai persenjataan yang terkuat, jika
dibandingkan dengan pasukan–pasukan yang berada di luar kota. Oleh karena itu,
jika Belanda berhasil menguasai Kota Palembang secara total, maka akan
mempermudah gerakan operasi militer mereka ke daerah-daerah pedalaman.
Perang ini dipicu oleh serangkaian
insiden kontak senjata antara pasukan kerajaan Belanda dengan Tentara Rakyat
Indonesia (TRI) pada Desember 1946. Pihak Belanda dinilai telah melewati daerah
garis demarkasi yang sudah disepakati dan kerap bertindak provokatif terhadap
TRI.
Para
pemimpin militer Indonesia mengadakan rapat komando untuk menentukan sikap
dalam menghadapi provokasi Belanda. Gubernur Muda Sumatera Selatan Dr. M. Isa,
Panglima Divisi II Kolonel Bambang Utoyo, dan Panglima Laskar 17 Agustus
Kolonel Husin Achmad, sepakat untuk menghadapi tindakan Belanda dengan
menggempur kedudukan dan posisi pertahanan Belanda di seluruh sektor.
Penghentian tembak-menembak tersebut
tidaklah berlangsung lama, Belanda kembali melanggar kesepakatan pada 29
Desember 1946, berupa terjadinya penembakan terhadap Letnan Satu A. Riva’i,
Komandan Datasemen Divisi Dua, yang mengendarai sepeda motor Harley Davidson
saat sedang melakukan inspeksi kepada pasukan-pasukan dan pos-pos pertahanan
TRI-Subkoss/ Lasykar. Ketika melintas di depan Charitas, ia ditembak dengan
senjata otomatis oleh pasukan belanda yang berada di Charitas. Letnan Satu A.
Riva’i berhasil menyelamatkan diri walaupun tembakan itu tepat mengenai
perutnya.
Tujuan dilakukan penghentian
tembak-menembak bagi Belanda adalah untuk menyusun kembali kekuatan tempurnya.
Sebelum Belanda melakukan serangan udara itu memakan waktu yang relatif
singkat, yaitu beberapa jam sebelum matahari terbenam menjelang malam. Belanda
melakukan penembakan dengan mortir ketempat dimana Pasukan TRI/Lasykar berada
yaitu di Gedung Perjuangan (sekarang pusat perbelanjaan Bandung), di daerah
dekat Sungai Jeruju, daerah Tangga Buntung, dan sebagainya.
Provokasi
Belanda terus terjadi pada 31 Desember 1946 menyebabkan insiden dengan pihak
TRI yang sifatnya sporadis. Belanda melakukan konvoi dari Talang Semut menuju
arah Jalan Jenderal Sudirman. Mobil tersebut melaju dengan kencang dan
melepaskan tembakan-tembakan. Kontak senjata tidak terelakkan di depan Masjid
Agung dan sekitar rumah penjara Jalan Merdeka. Pasukan TRI melakukan
pengepungan dan serangan terhadap kekuatan Belanda di Charitas sehingga tidak
mungkin Belanda untuk keluar dan meneriman bantuan dari luar. Akhirnya Belanda
meminta bantuan Panglima Divisi II (Kol. Hasan Kasim) dan Gubernur Sumatera
Selatan (dr. M. Isa) untuk penghentian tembak-menembak (cease fire).
Insiden-insiden
yang terjadi pada akhir tahun 1949 tersebut menjadikan situasi di Kota
Palembang dan sekitarnya menjadi panas (Perwiranegara, 1987 : 58). Insiden yang
terjadi sesungguhnya adalah cara Belanda untuk memicu keributan dengan tujuan
agar terjadi pertempuran yang lebih besar.
Pada
hari Rabu, tanggal 1 Januari 1947, sekitar pukul 05.30 pagi, sebuah kendaraan
Jeep yang berisi pasukan Belanda keluar dari Benteng dengan kecepatan tinggi.
Mereka melampaui daerah garis demarkasi yang sudah disepakati. Ternyata mereka
mabuk setelah pesta semalam suntuk merayakan datangnya tahun baru. Kendaraan
Jeep itu melintasi Jalan Tengkuruk membelok dari Jalan Kepandean (sekarang
Jalan TP. Rustam Efendi) lalu menuju Sayangan, kemudian melintasi ke arah Jalan
Segaran di 15 Ilir, yang banyak terdapat markas pasukan RI/ Lasykar seperti
Markas Napindo, Markas TRI di Sekolah Methodist, rumah kediaman A.K. Gani,
Markas Divisi 17 Agustus, Markas Resimen 15 dan markas Polisi Tentara.
Sejak
tanggal 4 Januari 1947 di Kota Palembang telah menerima kedatangan Kapten A.M.
Thalib, utusan Panglima Divisi II Bambang Utoyo, yang mengabarkan tentang
keinginan Mollinger untuk berunding. Ternyata Gubernur Muda telah menerima
berita dari Jakarta lewat telegram yang diterima oleh pemancar darurat dibawah
pimpinan Herry Salim, bahwa akan datang ke Palembang secepatnya Dokter Adnan
Kapau Gani sebagai utusan pemerintah pusat untuk melakukan perundingan gencatan
senjata dengan pihak Belanda.
Perundingan
ini dilakukan oleh pihak RI dikarenakan ada kepentingan strategis dengan
alasan:
-
pertama, mencegah korban lebih banyak
-
kedua, kita perlu mengadakan konsolidasi
kekuatan kembali
-
ketiga, dari segi politis akan
memberikan gambaran kepada dunia internasional bahwa RI cinta perdamaian,
sekaligus menegaskan bahwa pemerintah pusatnya dipatuhi oleh daerah-daerahnya.
Perhitungan
yang melandasi berunding dari pihak RI adalah berdasarkan:
-
Pertama, perjuangan kemerdekaan akan
memakan waktu cukup lama, mungkin bertahun-tahun.
-
Kedua, hampir 60% pasukan RI di Sumatera
Selatan berada di Kota Palembang, bila sampai bertempur habis-habisan akan
memperlemah kekuatan pada masa selanjutnya.
Setelah
itu, ditetapkan tiga orang delegasi yang melakukan pejajakan perundingan.
Mereka adalah dr. M. Isa, Gubernur Muda yang mewakili Pemerintah Sipil; Mayor
M. Rasyad Nawawi, Kepala Staf Divisi Garuda II yang mewakili pasukan-pasukan
dari Komando Pertempuran dan Komisaris Besar Polisi, Mursoda, yang mewakili
Kepolisian (Perikesit, 1995: 69)
Perundingan
antara RI - Belanda dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 1947, di Rumah Sakit
Charitas. Formasi delegasi pun ditambah dengan Kolonel Bambang Utoyo, Komandan
Divisi Garuda II, yang ditunjuk sebagai Ketua dan Mayor Laut A.R. Saroingsong.
Pertemuan dengan pihak Belanda sebenarnya telah mereka nanti-nantikan, sebab
posisi Belanda benar-benar terjepit dan belum bisa mengadakan link up. Mereka
masih terkurung dalam kubu per kubu yang terpisah satu sama lainnya.
Dalam
perundingan tersebut pihak Belanda menuntut Kota Palembang dikosongkan dari
seluruh pasukan TRI. Namun hal itu ditolak oleh delegasi RI. Pihak RI bersedia
menarik TRI dan Lasykar dari kota, tapi ALRI, Kepolisian dan Pemerintahan Sipil
tetap berada di dalam kota. Dengan alasan bahwa ALRI tidak mempunyai hubungan
dengan Angkatan Darat. Adapun maksud tersembunyi adalah Pasukan ALRI yang
tinggal di Kota Palembang akan menjadi penghubung dan mata-mata, disamping
Polisi dan Pemerintahan Sipil, guna mengawasi kegiatan Belanda.
Daftar
Pustaka
- - Nugroho Notosusanto. Marwatidjoened Poesponegoro.1987.”Sejarah Indonesia V”.Balai Pustaka.
-
Komentar
Posting Komentar